Senin, 31 Januari 2011

SKRIPSI KRITIK SOSIAL DALAM EMPAT LIRIK LAGU DI ALBUM KELOMPOK MUSIK SWAMI I (IWAN FALS DKK.)

I. Latar Belakang

Kesenian, khususnya seni musik, merupakan bagian dari kebudayaan. Melalui musik, manusia mengekspresikan perasaan, harapan, aspirasi, dan cita-cita, yang me-representasikan pandangan hidup dan semangat zamannya. Oleh karena itu, melalui kesenian, kita juga bisa menangkap ide-ide dan semangat yang mewarnai pergulatan zaman bersangkutan.

Indonesia sendiri adalah suatu negeri yang kaya dengan berbagai karya seni, khususnya seni musik, yang mewakili pandangan hidup dan semangat zamannya. Salah satu era yang penting dalam perjalanan bangsa ini adalah era Orde Baru yang dimulai dengan naiknya Jenderal Soeharto ke tampuk pimpinan pemerintahan pada penghujung 1960-an sampai berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto pada penghu-jung 1990-an.

Salah satu grup musik yang sempat mewarnai era Orde Baru adalah Swami, dengan ikonnya Iwan Fals. Mereka telah menelurkan sejumlah album dan salah satu yang menonjol adalah album Swami I. Lirik-lirik lagu dalam album Swami I ini me-wakili pandangan hidup mereka, sekaligus mengekspresikan semangat zamannya. Untuk memahami lirik-lirik lagu yang ditampilkan dalam album Swami I, kita perlu meninjau konteks kondisi sosial, ekonomi, dan politik Indonesia pada era tersebut.

1.1 Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Politik Indonesia 1989

Penghujung 1980-an adalah saat rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto mencapai puncak kekuatannya. Pemerintah Soeharto menjadikan ekonomi sebagai panglima dan seluruh elemen masyarakat dimobilisasi di bawah panji “pembangunan” (development).

Konsep utama pembangunan seharusnya adalah perbaikan mutu kehidupan rakyat. Dalam pembangunan, seharusnya tercakup unsur perubahan yang berdimensi sosial kultural dan ekonomi, serta bersifat kualitatif dan kuantitatif. Namun, seperti di banyak negara berkembang lain, pembangunan di Indonesia telah direduksi makna-nya menjadi “pertumbuhan ekonomi” (economic growth) semata sehingga pembangunan secara sederhana berarti pertumbuhan pendapatan setiap orang di daerah yang secara ekonomis terbelakang.[1]

Harus diakui, pembangunan ekonomi yang substansial memang pernah berja-lan di Indonesia. Pada tahun 1966, pendapatan per kapita tahunan di Indonesia sekitar US$ 75. Ekonomi ini terus tumbuh lewat utang luar negeri dan sumbangan sektor migas. Pertumbuhan ekonomi riil selama tahun 1980-an dan 1990-an hampir selalu berkisar antara 6 sampai 7 persen per tahun. Inflasi tahunan rata-rata masih dapat ditekan di bawah level 10 persen.

Perbaikan yang berarti juga dicapai dalam pemberantasan tuna aksara di ka-langan orang dewasa, peningkatan usia harapan hidup, menurunnya angka kematian bayi, dan pembatasan tingkat pertumbuhan penduduk lewat program KB.

Berbagai hasil ini mendorong Bank Dunia untuk menjadikan Indonesia seba-gai contoh “model sukses” pembangunan. Indonesia diajukan sebagai tolok ukur ki-nerja negara-negara berkembang lain, dalam Laporan Pembangunan Dunia (World Development Report) 1990, yang disusun oleh Bank Dunia.

Namun, ada harga yang harus dibayar untuk “kesuksesan ekonomi” itu. Untuk mengejar pertumbuhan ekonomi tersebut, pemerintah memerlukan kestabilan politik di dalam negeri. Selanjutnya, dengan dalih perlunya stabilitas politik ini, pemerintah bersikap represif dan memberlakukan sejumlah aturan otoriter.

Pers dan media massa dikontrol ketat. Media yang kritis dibreidel dan dilarang terbit. Jumlah partai politik dibatasi, dan mereka tidak boleh masuk ke desa-desa. Sementara pegawai negeri dan anggota keluarga ABRI dipaksa memilih Golkar, partainya penguasa. Lewat para pejabat, Golkar justru leluasa masuk ke desa-desa.

Tokoh-tokoh oposisi yang kritis dipenjarakan atau disingkirkan,[2] sedangkan, kebebasan berekspresi di bidang seni juga ditindas, khususnya kalangan seniman yang tidak sejalan dengan kepentingan rezim.[3] Jika diperlukan, pemerintah juga tidak se-gan-segan menggunakan cara-cara represif, demi “menjaga ketertiban masyarakat” dan “melancarkan jalannya roda pembangunan.”

Karena yang dinomorsatukan adalah pertumbuhan ekonomi, sementara distribusi ekonomi atau pemerataan kesejahteraan tidak menjadi prioritas, maka terjadilah kesenjangan antara kelompok elite atau mereka yang diuntungkan oleh “pembangunan,” dan rakyat banyak yang tertinggal atau ditinggalkan dalam proses “pembangunan.”

Ada sejumlah konglomerat, pengusaha, birokrat, dan pejabat yang -karena kedekatan dengan penguasa- menikmati kue pembangunan. Sebaliknya, banyak rak-yat kecil yang hidupnya tertekan. Teori bahwa kemakmuran di kalangan atas pada akhirnya akan mengalir ke bawah (trickle-down effect) dan dinikmati oleh kalangan bawah, ternyata tidak terbukti.

Yang kaya bisa semakin kaya, sedangkan yang miskin semakin miskin. Presiden Soeharto sendiri diduga memiliki kekayaan miliaran dollar pada tahun 1989. Jika digabung dengan harta istri dan anak-anaknya, ditambah lingkaran kroni sipil dan militernya, jumlah tersebut membengkak sampai puluhan miliar dollar.[4] Keakuratan angka ini mungkin bisa diperdebatkan, tetapi fakta bahwa Soeharto beserta keluarga dan kroni-kroninya telah menumpuk kekayaan dengan memanfaatkan kekuasaan, tampaknya disepakati oleh banyak pengamat.

Strategi politik dan ekonomi Soeharto – yang bermotivasi pengumpulan harta besar-besaran bagi segelintir manusia, sementara mengesampingkan kepentingan ma-yoritas penduduk – telah ditanamkan di Indonesia sejak akhir tahun 1960-an.[5] Sayangnya, sistem politik Indonesia yang otoriter menyulitkan berjalannya pengawasan yang efektif terhadap pihak-pihak yang ingin menggunakan kekayaan negara untuk keuntungan pribadi.

Kesenjangan semacam inilah yang dilihat para anggota Swami dalam inter-aksinya sebagai seniman dengan masyarakat sehari-hari. Gambaran suram dan mem-prihatinkan inilah yang memberi inspirasi pada karya-karya mereka, yang bercorak kritik sosial. Pihak yang kaya dan berkuasa asyik dengan ambisi dan kenikmatan hidupnya sendiri, sementara rakyat kecil yang seharusnya disejahterakan ternyata nasibnya malah diabaikan.

1.2. Alasan Pemilihan Album Swami I

Album Swami I dipilih karena album ini dianggap mewakili semangat zaman-nya. Salah satu ukuran keterwakilan itu adalah respons positif masyarakat terhadap album serta lagu-lagu di dalamnya, yang bisa dilihat dari angka penjualan. Album Swami ini meledak di pasaran.
Angka penjualan album ini sangat tinggi, hingga mencapai 800 ribu kopi dalam jangka waktu satu bulan. Padahal, angka penjualan tersebut dicapai tanpa pro-mosi besar-besaran. Swami I berhasil mencapai sukses di pasar industri musik Indo-nesia dengan lagu-lagu yang sarat dengan kritik sosial sekaligus menghibur.

1.3. Alasan Pemilihan Empat lagu

Hampir semua lagu di album Swami I ini menjadi hits, tetapi yang dikate-gorikan sebagai hits besar dari Swami adalah lagu Bento dan Bongkar.[6] Dua lagu lain yang dipilih untuk dianalisis di sini adalah Potret dan Oh…Ya!. Empat lagu ini dipilih karena popularitasnya, dan sekaligus juga karena lagu-lagu itu menunjukkan karakter yang kuat dalam konteks kritik sosial.

1.4. Permasalahan

Secara sepintas, lagu-lagu dalam album Swami I mengekspresikan kritik sosial. Namun, tim peneliti ingin menelaah secara lebih spesifik. Pertama, bagaimanakah penguasa atau kelas atas ditampilkan dalam lirik-lirik lagu Swami? Kedua, di sisi lain, bagaimanakah kelas bawah ditampilkan? Ketiga, bagaimanakah pertentangan kelas ditampilkan? Dan terakhir, kritik sosial macam apakah yang diangkat di dalam keempat lirik ini?

1.5. Tujuan

Makalah ini hendak menunjukkan kritik sosial yang ditampilkan dalam lirik dari keempat lagu Swami I dengan menganalisis representasi penguasa, kelas atas, kelas bawah, dan pertentangan di antara mereka.

1.6. Metodologi dan Metode Penelitian

Makalah ini menggunakan pendekatan kualitatif dan lintas disiplin yang meliputi bidang ilmu sejarah, filsafat, susastra, dan linguistik.
Metodologi yang diterapkan adalah metodologi kualitatif karena objek penelitian berupa lirik lagu, dan tujuan penelitian adalah memahami isi lirik lagu, dalam kaitannya dengan peristiwa sosial. Pemahaman dilakukan melalui interpretasi peneliti dengan pisau analisis teori konotasi dari Barthes.

Berhubungan dengan metodologi tersebut, berikut ini uraian metode yang dilaksanakan: Lirik lagu dari album Swami I diklasifikasi berdasarkan topik. Pada tahap selanjutnya, dipilih empat lirik lagu berdasarkan sebuah topik. Kemudian, kata-kata yang memperlihatkan fenomena yang sesuai dengan topik dipilah dan dikelom-pokkan. Akhirnya, data dianalisis untuk mencapai tujuan penelitian.

II. Grup Musik Swami
2.1. Lahirnya Swami

Swami adalah grup musik yang dibentuk oleh Setiawan Djodi, Iwan Fals, Sawung Jabo, Innisisri, Naniel,[7] dan Nanoe pada tahun 1989. Swami dijadikan nama grup, atas usul Sawung Jabo yang berasal dari plesetan 'Suami,' karena semua anggotanya berstatus suami.
Kesepakatan awal para anggota Swami adalah membentuk grup untuk jangka waktu tiga tahun. Oleh karena itu, Swami membubarkan diri pada 1991.

Tidak lama setelah dibentuk, Swami berhasil mengeluarkan album yang diberi judul Swami. Dalam album Swami I yang berformat kaset, terdapat sepuluh lagu yang masing-masing side memuat lima lagu. Dalam side A termuat lagu-lagu, dengan data musisi yang menciptakan lagu tersebut. Lengkapnya adalah sebagai berikut:

Side A
1. Bento (Iwan Fals / Naniel ) -SWAMI
2. Bongkar (Iwan Fals / Sawung Jabo) -SWAMI
3. Badut (Iwan Fals / Sawung Jabo / Naniel) -SWAMI
4. Esek.Esek..Udug.Udug.. (Iwan/ Jabo / Naniel) -SWAMI
5. Potret (Iwan Fals / Sawung Jabo / Naniel) -SWAMI

Sementara dalam side B, lagu-lagu yang dimuat dengan data musisi yang menciptakannya adalah sebagai berikut:

Side B
1. Bunga Trotoar (S Djody / Iwan / Jabo / Naniel) -SWAMI
2. Oh... Ya! (Iwan Fals / Sawung Jabo / Naniel) -SWAMI
3. Condet (Iwan Fals / Naniel) - -SWAMI
4. Perjalanan Waktu (Iwan Fals / S.Jabo / Naniel) –SWAMI
5. Cinta (Iwan Fals/ Sawung Jabo/Naniel)- SWAMI

Album Swami I ini diproduksi pada tahun 1990 oleh Airo Records Pro-ductions, suatu perusahaan rekaman yang dapat dikelompokkan sebagai minor label[8]. Pada sampul album ini nama Iwan Fals dicantumkan di atas nama Swami, atas usulan Setiawan Djodi, yang merasa tanpa nama Iwan Fals, album Swami tidak akan dilirik. Dengan demikian Iwan Fals dijadikan trade mark, bukan Sawung Jabo dengan grup Sirkus Barock-nya.

Saat itu Iwan Fals dinilai sebagai musisi yang berani mengkritik korupsi dalam pemerintah yang berkuasa (terutama pada masa rezim Orde Baru) dan yang lirik-liriknya menyentuh hati berbagai kalangan masyarakat (terutama rakyat kecil). Hal ini menjadi istimewa mengingat tidak banyak artis yang memiliki keberanian dan karakter merakyat seperti Iwan Fals.
Kebanyakan artis pop pada masa itu dipandang kurang peka pada masalah-masalah sosial sehingga ada yang mengatakan bahwa mu-sik Iwan Fals merupakan suara rakyat (voices of people).

Faktor utama yang menyebabkan popularitas lagu-lagu Iwan Fals dan kelom-pok musik Swami I adalah tema musik yang mengambil inspirasinya dari kehidupan sehari-hari sehingga meninggalkan kesan memasyarakat, serta kritik sosialnya yang dinilai berani.

Masuknya Setiawan Djodi ke dalam kelompok Swami merupakan suatu anomali. Pada satu sisi kelompok Swami adalah kelompok musik yang mengusung lagu-lagu protes sosial sebagai tema utamanya, pada sisi lain Setiawan Djodi adalah bagian dari kelas sosial yang diprotes. Setiawan Djodi dikenal sebagai seorang konglomerat kaya raya, yang punya hubungan dekat atau perkawanan dengan putra-putra Presiden Soeharto.

Popularitas memang tidak otomatis identik dengan kualitas karya. Namun, dalam melihat kualitas musik Swami I, harus dipahami bahwa seni (modern) tidak hanya identik dengan keindahan, melainkan meliputi kategori-kategori lainnya, seperti tragis dan ketidakharmonisan (sebagai kebalikan dari keselarasan), serta pemberontakan.

Manusia memang tidak selalu menjadi homo estheticus, melainkan juga manusia sosial, yang berakar pada sejarah dan kondisi sosial-masyarakat tertentu sehingga tidak mengherankan, jika dalam menciptakan sebuah karya seni seorang se-niman akan mendapat pengaruh pula dari lingkungan dan zamannya.

2.2. Konteks Pembuatan Lagu

Menurut pengakuan Iwan Fals, sebagai bagian dari grup Swami, semua lagu yang dibuatnya jujur dan mempunyai peristiwa, meskipun ada unsur pendramtisa-sian. Unsur pendramatisasian paling tampak pada lagu-lagu pesanan.

Secara pasti Iwan Fals juga menyatakan bahwa tujuannya membuat lagu adalah untuk dijual dan laku. Namun, antara pilihan laku dan suara hati, Iwan menya-takan suara hati adalah pilihannya, meskipun unsur ingin laku selalu mempenga-ruhinya. Hanya saja pada saat membuat syair, tidak ada urusannya dengan itu.[9]

Lagu Bongkar, misalnya, pada awalnya bukan seperti yang sudah ada di al-bum rekaman Swami I. Gagasan lagu Bongkar berasal dari beberapa kasus penggu-suran yang terjadi pada saat Orde Baru, seperti kasus Kedung Ombo, Kaca Piring, dan Way Jepara. Kemudian Sawung Jabo mengusulkan perubahan lagu Bongkar dan disetujui oleh anggota Swami.

Perubahan dilakukan dengan tidak membahas kasus per kasus dalam setiap lagu. Iwan melihat usulan Sawung Jabo tersebut sebagai pemikiran yang tepat, karena lagu Bongkar lebih langsung mengenai sasaran. Lebih otentik dan jujur.[10]

III. Kerangka Teori

Representasi merupakan salah satu proses dalam sirkuit kebudayaan di sam-ping identitas, produksi, konsumsi, dan regulasi yang beroperasi berdasarkan sistem tanda. Tanda-tanda tersebut menghasilkan makna tertentu, yang pada akhirnya dapat memperlihatkan identitas individu atau kolektif, serta posisi yang diambil oleh pem-buat representasi.

Posisi yang berbeda akan menghasilkan representasi yang berbeda. Representasi budaya yang dihasilkan pemerintah Orde Baru pastilah berbeda dari representasi budaya yang dihasilkan oleh mereka yang berada pada posisi yang berseberangan dengan Orde Baru.

3.1 Teori Konotasi Roland Barthes

Dalam linguistik modern, makna unsur leksikal dibedakan atas makna yang objektif dan tetap, serta yang subjektif dan bervariasi. Meskipun berbeda, kedua makna tersebut ditentukan oleh konteks.

Makna yang pertama, makna denotatif, berkaitan dengan sosok acuan, mi-salnya kata merah bermakna ‘warna seperti warna darah’ (secara lebih objektif, makna dapat digambarkan menurut tata sinar). Konteks dalam hal ini untuk memecahkan masalah polisemi; sedangkan pada makna konotatif, konteks mendukung munculnya makna yang tidak objektif.

Barthes mengatakan bahwa sebuah tanda (dalam hal ini tanda bahasa) adalah sebuah sistem yang terdiri atas expression/Signifier (E) yang dihubungkan (Relation/R) dengan content (C). Dalam kaitannya dengan penanda (expression/ signifier) dan petanda/konsep (content/signified), Barthes menggambarkan hubungan kedua makna tersebut sebagai berikut:

Menurut Barthes, makna lain yang tidak objektif dan tidak tetap seperti itu adalah makna konotatif. Makna ini berkaitan dengan:

1. majas (metafora, metonimi, hiperbola, eufemisme, ironi, satira, dan sebagainya);
2. pengalaman pribadi atau masyarakat penuturnya, yang menimbulkan reaksi dan memberi makna konotasi emotif. Misalnya: halus, kasar/tidak sopan, peyoratif, akrab, kanak-kanak, menyenangkan, menakutkan, bahaya, tenang, dan sebagainya. Jenis ini tidak terbatas.

Pada contoh di atas: MERAH bermakna konotatif emotif. Konotasi ini bertujuan membongkar makna yang terselubung.
Lirik lagu Swami menarik dianalisis dengan teori Barthes, karena mengan-dung makna konotatif, baik yang berupa majas maupun yang berupa reaksi.

3.2 Teori Pertentangan Kelas Karl Marx
Marx menyatakan bahwa sejarah dari berbagai masyarakat hingga saat ini pa-da dasarnya adalah sejarah tentang pertentangan kelas, yakni antara kelas yang memi-liki alat-alat produksi (kaum kapitalis) dan kelas yang tidak memiliki alat-alat pro-duksi (kelas pekerja atau buruh).
Kaum kapitalis memeras tenaga buruh demi keuntungan modal dan membuat kelas pekerja ini hidup dalam kondisi yang sangat tidak manusiawi. Dengan demi-kian, kelas pekerja ini teralienasi dan tidak bisa mengembangkan potensi-potensi ke-manusiaannya.

Marx percaya bahwa kapitalisme yang ada pada akhirnya akan kalah dan di-gantikan dengan komunisme. Kapitalisme akan berakhir akibat aksi yang dikelola oleh kelas pekerja internasional. Kondisi ideal masyarakat tanpa kelas akhirnya akan tercapai, setelah beberapa periode dari sosialisme radikal yang menjadikan negara sebagai wujud kediktaktoran proletariat.

Di Indonesia, Soekarno mencoba menerjemahkan, mengadaptasi, dan mengaplikasikan teori Marx tersebut ke dalam konteks Indonesia, yang berbeda dengan konteks Rusia, tempat asal teori Marx. Di Indonesia, yang ada bukanlah kelas pekerja (buruh) yang sama sekali tidak memiliki alat-alat produksi seperti di Rusia, melainkan kalangan rakyat kecil yang memiliki alat produksi sendiri, tetapi dalam jumlah yang sangat kecil, misalnya, petani yang memiliki sepetak sawah kecil, tukang bakso yang memiliki satu gerobak bakso sendiri, pedagang asongan yang memiliki lapak kecil, tukang becak yang memiliki satu becak sendiri, dan sebagainya. Bung Karno menyebut mereka sebagai “kaum Marhaen,”[11] dan ideologinya disebut Marhaenisme.[12]

Teori pertentangan kelas dari Marx, dengan versi adaptasinya seperti yang digagas oleh Soekarno, digunakan dalam menganalisis teks di makalah ini. Pertimbangan penggunaannya adalah karena teori tersebut dianggap cocok dengan konteks situasi dan kondisi masyarakat Indonesia era Orde Baru (1989), khususnya pada saat kelompok musik Swami menghasilkan karya-karyanya.

IV. Analisis Lirik Lagu

Keberadaan Iwan Fals, yang dikenal dengan lagu-lagunya yang penuh dengan kritik sosial, sebagai anggota grup band SWAMI menjanjikan bahwa album SWAMI I diwarnai oleh lirik lagu yang bersifat mengritik penguasa. Memang jika dilihat dari permukaan, tampaknya keempat lirik lagu ini ditandai dengan kritikan terhadap penguasa dan penindasan yang mereka lakukan kepada masyarakat miskin. Keempat lirik lagu mengangkat dua kelas sosial yang saling berseberangan, yaitu kelas bawah yang tertindas dan kelas atas yang menindas.

Kelas bawah diwakili oleh tiga lirik lagu, yaitu Potret, Oh ya, dan Bongkar sementara kelas atas diwakili oleh lirik lagu Bento. Kelas bawah di dalam keempat lirik ini digambarkan sebagai kelompok orang yang tertindas oleh kemiskinan dan oleh kesewenangan dan keserakahan penguasa. Ketertindasan oleh kemiskinan diangkat dalam lirik lagu Potret dan Oh ya. Potret menyoroti miskinnya kehidupan masyarakat di kalangan ini sehingga yang menjadi tujuan hidup mereka hanya memenuhi kebutuhan primer, yaitu uang untuk membeli makanan. Hal ini secara gamblang dinyatakan di dalam bait pertama dan bait ketiga:

Orang orang resah
Berlomba kejar nafkah
Demi anak bini
Demi sesuap nasi
Uang dimana uang?
Nasi dimana nasi?
Uang dimana uang?
Nasi dimana nasi?

Orang-orang dari kelompok sosial ini ditampilkan sebagai orang-orang yang resah karena harus berlomba mengejar nafkah. Mencari uang untuk membeli makanan diumpamakan sebagai sebuah pertandingan. Siapa cepat dia yang dapat. Itu semua dilakukan hanya untuk mendapatkan uang dan nasi, yang berarti bahwa nafkah yang dikejar itu bukan uang dalam jumlah besar melainkan jumlah yang kecil.
Ukuran kecil di sini karena hanya cukup untuk membeli makanan. Pengulangan pertanyaan Uang dimana uang? Nasi dimana nasi? dalam bait ketiga memperlihatkan bahwa yang menjadi obsesi orang-orang ini adalah uang dan nasi.

Dalam lirik lagu Oh ya, kondisi miskin yang menguasai kelas bawah diperlihatkan secara tajam melalui kontras antara impian masyarakat kelas bawah dengan kenyataan yang dihadapinya. Di dalam lirik lagu ini, aku lirik yang berasal dari kelas bawah bermimpi untuk memiliki materi dan kedudukan yang umumnya menjadi penanda kelas atas.
Materi yang diimpikan adalah mobil yang dikontraskan dengan bus, dan rumah dengan gubuk. Meskipun mobil dan bus sama-sama merupakan alat transportasi, tetapi kualitasnya berbeda. Demikian juga rumah dan gubuk. Mobil dan rumah menawarkan kenyamanan sekaligus prestise yang tidak didapatkan dari bus dan gubuk.

Andaikata aku di mobil itu
Tentu tidak di bus ini
Seandainya aku rumah itu
Tentu tidak di gubuk ini

Impian lainnya berkaitan dengan kedudukan yang ditandai dengan kontras antara direktur dengan penganggur. Selain menyatakan jabatan yang tinggi di dalam susunan organisasi perusahaan, direktur juga mengindikasikan posisi yang tinggi di dalam pandangan masyarakat yang tidak didapatkan aku lirik sebagai penganggur. Kontras ini menunjukkan betapa jauhnya perbedaan antara impian dengan kenyataan yang dihidupi oleh aku lirik.

Kalau saja aku jadi direktur
Tentu tidak jadi penganggur
Umpamanya aku dapat lotere
Tentu saja aku tidak kere

Setelah berangan-angan untuk menjadi direktur, aku lirik berandai-andai mendapat lotere, yang kemudian dikontraskan dengan kenyataan bahwa ia hanya kere. Pemilihan kata kere ini menunjukkan bahwa aku lirik berada pada tingkat sosial yang paling rendah. Terdapat rasa pesimis di sini bahwa keadaan aku lirik sudah sedemikian terpuruk sehingga tidak ada lagi yang dapat dilakukan untuk mengubahnya. Yang dapat dilakukannya hanyalah berkhayal sebagaimana tampak dari pengulangan kata-kata pengandaian seperti andaikata, seandainya, kalau saja, umpamanya.

A a a andaikata
Se se se seandainya
Oh ya!Ka ka ka kalau saja
U u u umpamanya
Oh ya!Oh ya! Ya nasib
Nasibmu jelas bukan nasibku
Oh ya! Ya takdir
Takdirmu jelas bukan takdirku (2x)
Aku bosan
A a a andaikata
Se se se seandainya
Ka ka ka kalau saja
U u u umpamanya
Oh ya!

Karena terlalu sering bermimpi, pada akhirnya aku lirik menjadi bosan dan pasrah pada nasib, pada takdir. Dengan mengatakan bahwa semua perbedaan itu merupakan nasib dan takdir, maka aku lirik tidak melihat adanya jalan keluar dari kemiskinannya.

Di dalam lirik lagu Bongkar sudut pandang yang dipakai adalah sudut pandang kami (jamak), yang merupakan bagian dari kelas bawah. Lagu ini menunjukkan bagaimana kelas bawah memandang dirinya sendiri serta kelas atas, dalam hal ini penguasa. Kami menampilkan dirinya sebagai sebagai orang-orang yang marah karena merasa telah menjadi korban penindasan orang-orang yang berkuasa.

Kalau cinta sudah di buang
Jangan harap keadilan akan datang
Sabar sabar sabar dan tunggu
Itu jawaban yang kami terima

Mereka terbiasa diperlakukan dengan tidak adil yang tercermin dari tidak adanya harapan bahwa keadilan akan datang. Mereka juga terbiasa ditelantarkan dan tidak dilayani sebagaimana tampak dari jawaban yang mereka terima (sabar sabar sabar dan tunggu) dari orang-orang yang seharusnya memberikan layanan publik.

Hoi hentikan hentikan
jangan diteruskan
Kami muak dengan ketidakpastian dan keserakahan

Lirik ini dengan gamblang memperlihatkan kemuakan dan kemarahan mereka akan ketidakpastian dan keserakahan, yang mengacu pada penguasa yang tidak adil dan tidak kompeten dalam menjalankan tugas mereka.

Kelas penguasa di dalam lirik lagu Bongkar dapat dikategorikan ke dalam kelas atas karena mereka memiliki posisi yang tinggi dalam masyarakat. Mereka memiliki kekuasaan untuk mengatur dan mengelola masyarakat. Kelas atas, dalam hal ini penguasa, diperlihatkan telah kehilangan cinta yang dapat dibaca sebagai telah kehilangan hati nurani yang membuat mereka mampu bertindak sewenang-wenang.

Penindasan serta kesewenang wenangan
Banyak lagi teramat banyak untuk disebutkan…
Kesedihan hanya tontonan
Bagi mereka yang diperkuda jabatan

Pemakaian kata diperkuda jabatan mengacu pada penguasa yang telah dikuasai oleh jabatan mereka sehingga kehilangan hati nurani. Akibatnya, mereka melihat kesedihan orang lain hanya sebagai tontonan dan tidak tergerak untuk berbuat sesuatu untuk memperbaiki keadaan. Mereka ini adalah orang-orang yang terobsesi dengan kedudukan mereka sehingga kehilangan kemanusiaan mereka.

Penggambaran yang serupa juga ada di dalam lirik lagu Bento. Aku lirik di dalam lagu ini adalah Bento yang adalah seseorang pengusaha papan atas. Untuk mengukuhkan kedudukannya sebagai tokoh kelas atas, Bento memamerkan kekayaannya, status sosialnya dan kekuasaannya.

Namaku Bento
rumah real estate
Mobilku banyak harta berlimpah
Orang memanggilku boss eksekutif
Tokoh papan atas atas segalanya
Asyik

Tingkat kekayaan yang dipamerkannya ditandai dengan rumah, mobil, dan harta. Pemakaian kata real estate yang berasal dari bahasa Inggris menunjukkan bahwa rumah yang dimaksud bukan rumah biasa melainkan rumah yang memiliki nilai sosial tertentu. Mobil yang dimilikinya juga tidak hanya satu, tetapi banyak yang semakin diperkuat dengan harta yang berlimpah.
Untuk memperlihatkan kedudukannya, ia memosisikan dirinya sebagai boss eksekutif. Kata boss menunjukkan bahwa ia berada pada puncak pimpinan sehingga memiliki kekuasaan yang besar atas bawahannya. Eksekutif dapat memiliki dua arti karena dapat berarti top management dari suatu perusahaan, tapi dapat juga mengacu pada badan eksekutif pemerintahan. Tidak cukup dengan memperlihatkan posisi strukturalnya, Bento menegaskan bahwa ia merupakan tokoh papan atas atas segalanya yang dapat diartikan bahwa ia menganggap dirinya sebagai tokoh masyarakat di dalam segala bidang.

Deksripsi diri yang dilakukan Bento memperlihatkan nada sombong dan pongah. Ia tampak begitu menikmati kedudukan, kekayaan dan keberhasilannya. Ia bahkan melanjutkan deskripsi dirinya dengan menyombongkan wajahnya yang ganteng yang menjadikannya pujaan banyak wanita. Banyak simpanan yang mengacu pada wanita yang sekali dilirik mau dijadikan simpanannya merupakan suatu cara untuk menunjukkan bahwa kekuasaannya tidak berhenti pada materi dan kedudukan, tetapi juga manusia.

Wajahku ganteng
banyak simpanan
Sekali lirik oke sajalah
Bisnisku menjagal jagal apa saja
Yang penting aku senang
aku menang

Sikap yang sama juga ditunjukkan dengan deskripsinya tentang bagaimana ia menjalankan usahanya. Bento diperlihatkan menyombongkan dirinya dengan mengatakan bahwa bisnisnya menjagal apa saja yang ia inginkan. Secara implisit pernyataan ini menunjukkan bahwa kekuasaannya begitu besar sehingga ia dapat dengan mudah menjatuhkan orang lain yang diinginkannya.

Persetan orang susah karena aku
Yang penting asyik sekali lagi
Asyik

Pengulangan kata asyik semakin menekankan bahwa kesenangan dan kepuasannya adalah yang paling penting baginya. Ia tidak peduli pada akibat yang ditimbulkannya pada orang lain.
Khotbah soal moral omong keadilanSarapan pagikuAksi tipu tipu lobying dan upetiWoow jagonya
Maling kelas teri bandit kelas coro
Itu kantong sampah
Siapa yang mau berguru datang padaku
Sebut tiga kali namaku
Bento Bento Bento
Asyik

Bento juga memperlihatkan dirinya sebagai penipu ulung yang tidak memiliki rasa bersalah. Ia bahkan memproklamasikan dirinya sebagai penjahat paling top, jauh di atas maling dan bandit.
Secara keseluruhan, deskripsi Bento tentang dirinya sebenarnya merupakan suatu strategi untuk membongkar apa yang ada di balik kekayaan dan keberhasilan yang tampak dari luar tanpa harus menudingkan jari kepada orang lain karena Bento membuka kedoknya sendiri.
Kepongahan Bento di satu sisi merupakan satir terhadap kepongahan kelas atas dan di sisi lainnya menciptakan jarak antara pembaca dengan Bento karena sulit bagi pembaca untuk bersimpati pada tokoh seperti dia.

Jika representasi kelas bawah dan atas diperbandingkan, tampak ada perbedaan kelas antara yang kaya dan yang miskin, antara yang berkuasa dan yang tertindas. Dalam beberapa lirik lagu, perbedaan tersebut mengarah pada pertentangan kelas. Yang paling menonjol terlihat di dalam lirik lagu Bongkar. Di dalam lirik lagu ini jalan keluar yang dipilih kelas bawah untuk menyampaikan aspirasi mereka adalah dengan turun ke jalan atau melakukan demonstrasi.
Penguasa direpresentasikan sebagai setan yang berdiri mengangkang yang dapat diartikan sebagai kekuatan jahat yang menunjukkan kekuasaannya dengan menghalangi tercapainya tujuan demonstrasi. Pertentangan dipertajam dengan refrain lagu yang mengulang-ulang kata bongkar.

Ternyata kita harus ke jalan
Robohkan setan yang berdiri mengangkang
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar

Dalam Bongkar, kaum yang tertindas pada awalnya diperlihatkan memiliki keberanian menyuarakan keinginannya untuk mengubah keadaan. Akan tetapi, menjelang akhir lirik, pertentangan kelas yang dilakukan di jalan itu ditarik ke dalam rumah, yaitu pada kehidupan rumah yang tidak harmonis. Rumah dalam lirik ini merupakan analogi sebagai keadaan negara atau pemerintahan yang diacu di bagian awal lirik. Jika pemerintahan dianalogikan sebagai rumah Dalam rumah ada orang tua yang juga dapat dianalogikan sebagai pemimpin atau pemerintahan.

Karena pemerintah dianalogikan sebagai keluarga, seolah-olah menjadi sebuah kemustahilan untuk melakukan perlawanan. Melalui analogi semacam itu, pertentangan kelas pun tidak terlihat frontal. Seperti halnya dalam keluarga, harmoni tetap dijaga, meskipun terjadi perselisihan-perselisihan dalam keluarga. Kata cinta dan keinginan diperlakukan manusiawi yang muncul pada lirik puisi, mengurangi tegangan emosi yang terdapat pada larik-larik sebelumnya sehingga perlawanan menjadi lebih “halus”.

Ungkapan Kok Bisa? Bisa kok! yang mengakhiri lirik lagu ini dapat dimaknai sebagai sebuah keingintahuan akan sebuah jawaban. Pertanyaan Kok Bisa? meragukan kemungkinan melawan “orang tua” tetapi jawaban Bisa kok! memberikan nada optimis bahwa perlawanan mungkin untuk dilakukan.

Pertentangan kelas yang halus dan tidak frontal tersebut didukung oleh persamaan antara kedua kelas. Kedua kelas yang tampaknya berseberangan dan berbeda ini ternyata memaknai keberhasilan dan kesuksesan dari segi materi, yaitu rumah, mobil, harta, dan kedudukan. Hal ini terlihat jelas dalam lirik lagu Oh ya dan Bento.
Kelas bawah dalam Oh ya bermimpi naik mobil dan bukan bus, memiliki rumah dan bukan gubuk, menjadi direktur dan bukan penganggur, serta mendapat uang banyak dari lotere sehingga tidak lagi menjadi kere. Sementara Bento sesumbar bahwa rumahnya adalah rumah real estate, mobilnya banyak, hartanya berlimpah dan jabatannya boss eksekutif serta tokoh papan atas.

Kedua kelas juga sama-sama diperlihatkan diperbudak oleh obsesi dan ambisi mereka. Dalam Potret diperlihatkan bahwa orang-orang dari kelas bawah ini resah karena mereka harus mengejar nafkah hidup mereka. Mereka bahkan ditampilkan sangat terobsesi dengan pencarian nafkah hidup tersebut, sebagaimana terlihat dalam pemakaian pertanyaan Uang dimana uang? dan nasi dimana nasi? sebagai refrain lagu.

Uang dimana uang?
Nasi dimana nasi?
Uang dimana uang?
Nasi dimana nasi?

Obsesi itu begitu menguasai mereka sehingga mereka ditampilkan telah kehilangan kemanusiaan mereka. Mereka dibandingkan dengan hewan dan dengan kereta api.
Seperti binatang
Bila lapar menerjang
Seperti kereta
Nafasnya terdengar
Lidahnya terjulur
Syahwatnya siap lentur
Soal harga diri
Sudah tak berarti

Orang-orang yang terobsesi oleh urusan perut dan nafkah ini diperlihatkan seperti binatang yang dikuasai rasa lapar, dikuasa insting dan bukan lagi rasio. Mereka dibandingkan dengan kereta yang nafasnya memburu dan seperti binatang yang dikuasai nafsu: nafasnya memburu, lidahnya terjulur dan syahwatnya siap lentur. Lebih jauh lagi secara gamblang dinyatakan bahwa mereka tidak lagi peduli soal harga diri sebab yang ada dalam pikiran mereka semata-mata adalah mendapatkan uang dan nasi.

Obsesi kelas atas diperlihatkan dalam Bento. Bagi orang macam Bento, bukan uang dan nasi yang dicari karena ia sudah memiliki kemewahan dan kelimpahan dalam segala hal.
Namaku Bento rumah real estate
Mobilku banyak harta berlimpah

Rumahnya bukan di kampung, tetapi di real estate yang menunjukkan bahwa ia merupakan bagian dari kelas atas. Dengan mobil yang banyak dan harta berlimpah tentu saja kebutuhan Bento bukan lagi pada kebutuhan tahap primer, berbeda dari orang-orang resah yang dipotret dalam lirik lagu Potret.

Bento direpresentasikan sebagai orang yang dikuasai dan diperbudak oleh nafsunya.

Bisnisku menjagal jagal apa saja
Yang penting aku senang aku menang
Persetan orang susah karena aku
Yang penting asyik sekali lagi
Asyik

Obsesinya adalah mendapatkan apa saja yang dia inginkan karena hal itu mendatangkan kesenangan dan keasyikan, meskipun cara yang dipakai adalah dengan melakukan berbagai tindakan yang merugikan orang lain (Bisnisku menjagal jagal apa saja). Pengulangan kata asyik menekankan bahwa keasyikan dan kesenangan untuk meraih apapun yang dia inginkan sudah begitu menguasai Bento sehingga ia menjadi tidak lagi manusiawi.

Dehumanisasi juga muncul di dalam lirik lagu Bongkar. Di sini penguasa diperkuda oleh jabatan yang berarti bahwa penguasa dikuasai oleh obsesi mereka akan jabatan. Obsesi pada jabatan ini membuat mereka kehilangan hati nurani (cinta) yang mengakibatkan mereka tidak dapat memerintah dengan adil dan bahkan menjadi kebal dengan kesedihan orang lain (kesedihan hanya tontonan)

Kalau cinta sudah di buang
Jangan harap keadilan akan datang
Kesedihan hanya tontonan
Bagi mereka yang diperkuda jabatan

Penguasa di dalam lagu ini ditampilkan serupa dengan Bento yang tidak pernah memikirkan penderitaan yang ditimbulkannya akibat ulahnya menjagal bisnis orang lain. Keduanya sama-sama mementingkan diri sendiri dan tidak memiliki hati nurani dan rasa keadilan. Jika melihat bahwa lirik lagu ini mengetengahkan bahwa dehumanisasi terjadi pada kedua kelas yang tampaknya saling berseberangan dan berlawanan, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya kedua kelas masyarakat ini memiliki sifat yang serupa. Kedua kelas tersebut dikuasai oleh obsesi mereka sehingga berfokus pada diri sendiri dan tidak peduli pada orang lain.

Di samping gagasan pertentangan kelas, gagasan lain yang muncul adalah kecemburuan sosial si miskin kepada si kaya (terutama dalam Oh ya). Meskipun demikian, kelas bawah hanya berani berandai-andai karena sadar akan adanya sekat-sekat yang memisahkan keduanya yang disebutnya sebagai takdir dan nasib. Kepasrahan pada nasib dan takdir memperlihatkan tidak adanya jalan ke luar dari kemiskinan.

Oh ya! Ya nasib
Nasibmu jelas bukan nasibku
Oh ya! Ya takdir
Takdirmu jelas bukan takdirku

Kritik sosial yang diangkat dalam keempat lirik lagu SWAMI I disampaikan melalui nada satiris dan ironis. Lirik lagu Potret dan Oh Ya mengritik kesenjangan sosial antara dua kelompok masyarakat, yaitu antara si kaya dan si miskin. Dalam dua lirik tersebut, kritik disampaikan secara lunak. Kekayaan dan keberhasilan ternyata hanya milik segelintir orang sementara yang lainnya adalah orang-orang resah yang harus bersusah payah berjuang untuk hidup.

Lirik Oh Ya yang diawali dengan deskripsi kondisi sosial, ditutup dengan larik tanah lahirku aku cinta kau dan Bumi darahku aku cinta engkau. Penyajian tersebut menjadikan kritik sosial tidak tajam. Di satu sisi ada unsur kepasrahan, di sisi lain, ada motivasi untuk tetap mencintai negeri ini bagaimana pun keadaannya.

Berbeda dengan dua lirik lainnya, yaitu Bento dan Bongkar, kritik sosial yang muncul lebih tegas, meski tetap tidak subversif. Dalam kedua lirik lagu tersebut, kritik ditujukan pada kalangan atas yang memiliki kekuasaan yang cenderung menyalahgunakan kekayaan dan kekuasaannya untuk menindas dan memarjinalkan yang lain.

Di balik sosok Bento yang tampan, berkelas dan berkuasa, ia ternyata memiliki sifat seperti “preman” yang “mengancam”, dan “menjagal” tanpa hati nurani. Ironi penguasa sebagai “pengkhotbah moral” dan “guru” yang dipertentangkan dengan aksi “menipu”, dan “mencuri,” menimbulkan kesan sindiran yang tajam pada kelompok penguasa. Pengulangan kata asyik menguatkan kesan bahwa kalangan ini menikmati penindasan yang mereka lakukan terhadap rakyat kecil.

Lirik lagu Bongkar diawali dengan kritik yang cukup tajam karena adanya kesadaran dari kelas bawah untuk membongkar kekuasaan. Kesan sarkastis muncul pada kata-kata “setan yang berdiri mengangkang” ingin dirobohkan. Istilah tersebut ditujukan pada kekuasaan yang menindas. Kata “bongkar” dapat dimaknai sebagai sebuah kritik terhadap penguasa saat terjadi penggusuran-penggusuran yang semakin memarjinalkan kelompok miskin dan tidak berdaya.
Kata “bongkar” menjadi “teriakan” penguasa yang tidak peduli pada nasib rakyat kecil, atau dapat pula dimaknai kekuatan kelas bawah yang bisa memiliki “kekuatan” atau “kekuasaan” melakukan perlawanan dan melakukan cara-cara “preman” atau “tidak humanis”, seperti yang dilakukan oleh para penguasa. Akan tetapi di akhir lirik, pemilihan kata “orang tua” sebagai analogi penguasa menyiratkan bahwa yang dilawan adalah orang tua sendiri sehingga perlawanan tidak mungkin dilakukan secara frontal.

Vokalisasi yang bisa saja berubah tempat, antara posisi penindas (Bento) dan yang ditindas (Potret, Oh ya, dan Bongkar), mengurangi ketajaman kritik sehingga menjadi sebuah lirik yang lebih terkesan menghibur daripada menyudutkan pihak tertentu. Mungkin hal tersebut merupakan alasan album SWAMI I dapat diterima masyarakat dan juga pemerintah yang berkuasa pada masa itu.

V. Kesimpulan

Representasi kelas sosial dan pertentangannya diungkapkan melalui peng-ontrasan. Kelas bawah direpresentasikan sebagai rakyat kecil, yang kondisi kehidupannya sangat kontras berbeda dengan kalangan yang menikmati kue pem-bangunan. Dua kelas ini merupakan pencerminan kondisi sosial di era Orde Baru, di mana pertumbuhan ekonomi cukup baik, tetapi terdapat kesenjangan sosial yang lebar, antara kelompok yang sukses dan kelompok masyarakat yang terpuruk atau tertinggal dalam pembangunan.

Kelas atas ditampilkan sebagai orang-orang yang menikmati kue pembangunan, punya banyak uang, punya harta dan rumah mewah, punya jabatan tinggi, berkuasa, bisa ber-buat semaunya, hidup enak dan nyaman. Mereka asyik dengan kenikmatan hidupnya sendiri, dan tidak perduli dengan hidup orang lain yang ditindas atau menjadi korban aksi manipulasinya.

Pertentangan kedua kelas tersebut diungkapkan dengan mengkontraskan kondisi sosial, harapan dan kenyataan antara kedua kelas tersebut. Kesenjangan sosial antara kedua kelas itu tak terjembatani karena tidak ada cara yang dapat ditempuh oleh kelompok masyarakat miskin untuk dapat meningkatkan status sosial mereka.

Keempat lirik lagu SWAMI I memperlihatkan adanya pertentangan kelas dengan nuansa yang berbeda-beda. Pertentangan kelas yang tercermin di dalam keempat lagu ini berbeda dari pengertian Marxis karena tidak bersifat revolusioner model Eropa. Walaupun terdapat nada ketidakpuasan dan keinginan untuk memberontak, kelas bawah dalam lirik lagu tetap menganggap penguasa sebagai orang tua dan tetap mencintai negara dan bangsanya.

Ajakan untuk membongkar tidak ditujukan secara langsung kepada penguasa, tetapi pada penindasan dan kesewenang-wenangan, ketidakpastian dan keserakahan. Tidak ada nama atau figur spesifik nyata yang disebut dalam keempat lirik lagu.

Jadi ajakan untuk membongkar adalah membongkar sistem nilai yang dirasakan tidak adil, bukan membongkar atau merobohkan kekuasaan. Meskipun muara sistem nilai itu pada akhirnya berada pada penguasa dan pemilik kapital besar. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh kehadiran Setiawan Djodi sebagai penyandang dana dalam grup Swami. ***

DAFTAR PUSTAKA

Adian, Donny Gahral. 2006. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
Boangmanalau, Singkop Boas. 2008. Marx, Dostoievsky, Nietzsche: Menggugat Teodisi dan Merekonstruksi Antropodisi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Budianta, Melani. 2000. “Discourse of Cultural Identity in Indonesia During the 1997-1998 Monetary Crisis,” Inter-Asia Cultural Studies, vol. 1 no. 1, hlm. 110-127.
Christomy, T., dan Untung Yuwono (ed.). 2004. Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat UI.
Honderich, Ted. 1995. The Oxford Companion to Philosophy. Oxford/New York: Oxford University Press.
Kathryn Woodward. 1999. Identity and Difference. London: Sage Publication.
Storey, John. 2006. Cultural Theory and Popular Culture: an Introduction. Fourth Edition. Athens, Georgia: The University of Georgia Press.
Tabloid Bintang No 293/Th. VI, Minggu Kedua, Oktober 1996.
Winters, Jeffrey A. 1999. Dosa-dosa Politik Orde Baru, Jakarta: Penerbit Djambatan.
Hoed, Benny H. 2008. Semiotika dan Dinamika. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Nöth, Wienfried. 1995. Handbook of Semiotics. Indiana: Indiana University Press. Hlm.311-313.
Sulistyo, Basuki. 2006. Metode Penelitian. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Daftar Lampiran:
Lampiran 1

Potret
(Iwan Fals / Sawung Jabo / Naniel) –SWAMI

Orang orang resahBerlomba kejar nafkah
Demi anak bini
Demi sesuap nasi
Kuno kuno memangMemang memang kuno
Namun kenyataanKita butuh soal itu
Uang dimana uang?Nasi dimana nasi?
Uang dimana uang?Nasi dimana nasi?
Seperti binatangBila lapar menerjang
Seperti keretaNafasnya terdengar
Lidahnya terjulurSyahwatnya siap lentur
Soal harga diriSudah tak berarti
Uang dimana uang?Nasi dimana nasi?
Uang dimana uang?Nasi dimana nasi?
Pergi kau!Jangan nasehati aku oh ya!
Pergi kau!Aku mau uangmu oh ya!
Pergi kau!Jangan menggurui aku oh ya!
Pergi kau!Aku mau nasimu oh!
Anak anak kecil tengadahkan tangan
Mainkan tamborin gapai masa depan
Tanah lahirku aku cinta kau
Bumi darahku aku cium engkau

Lampiran 2

Oh... Ya!
(Iwan Fals & Sawung Jabo) - SWAMI
Andaikata aku di mobil ituTentu tidak di bus ini
Seandainya aku rumah ituTentu tidak di gubuk ini
A a a andaikataSe se se seandainya
Oh ya!Kalau saja aku jadi direktur
Tentu tidak jadi penganggur
Umpamanya aku dapat lotere
Tentu saja aku tidak kere
Ka ka ka kalau saja
U u u umpamanyam Oh ya!Oh ya!
Ya nasibNasibmu jelas bukan nasibku Oh ya!
Ya takdirTakdirmu jelas bukan takdirku Oh ya!
Ya nasibNasibmu jelas bukan nasibku Oh ya!
Ya takdirTakdirmu jelas bukan takdirku
Aku bosanA a a andaikata
Se se se seandainyaKa ka ka kalau saja
U u u umpamanyaOh ya!Oh ya!
Ya nasib Nasibmu jelas bukan nasibkuOh ya!
Ya takdir Takdirmu jelas bukan takdirkuOh ya!
Ya nasib Nasibmu jelas bukan nasibkuOh ya!
Ya takdir Takdirmu jelas bukan takdirku
La la laLa la laLa la la la la la la la la la la la la
La la laLa la laLa la la la la la la la la la la la la

Lampiran 3:

Bento
(Iwan Fals / Naniel ) -SWAMI
Namaku Bento rumah real estate
Mobilku banyak harta berlimpah
Orang memanggilku bos eksekutive
Tokoh papan atas atas s’galanya.
Asyik . . . . . . . . .

Wajahku ganteng banyak simpanan
Sekali lirik oke sajalah
Bisnisku menjagal jagal apa saja
Yang penting aku menang aku senang
Persetan orang susah karena aku
Yang penting asyik.
Sekali lagi asyik . . . . . . . . .

Reff:
Khotbah soal moral omong keadilan sarapan pagiku
Aksi tipu-tipu lobbying dan upeti woh . . . jagonya . .
Maling kelas teri bandit kelas coro, itu kan tong sampah
Siapa yang mau berguru, datang padaku
Sebut tiga kali namaku: Bento . . . .Bento . . . . Bento . . . . .
Asyik . . . . . . . ! ! ! ! ! ! Asyik . . . . . .

Lampiran 4:

Bongkar
(Iwan Fals / Sawung Jabo) -SWAMI
Kalau cinta sudah di buang
Jangan harap keadilan akan datang
Kesedihan hanya tontonan
Bagi mereka yang diperkuda jabatan
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Sabar sabar sabar dan tunggu
Itu jawaban yang kami terima
Ternyata kita harus ke jalan
Robohkan setan yang berdiri mengangkang
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Penindasan serta kesewenang wenangan
Banyak lagi teramat banyak untuk disebutkan
Hoi hentikan hentikan jangan diteruskan
Kami muak dengan ketidakpastian dan keserakahan
Dijalanan kami sandarkan cita cita
Sebab dirumah tak ada lagi yang bisa dipercaya
Orang tua pandanglah kami sebagai manusia
Kami bertanya tolong kau jawab dengan cinta
Footnotes:
[1] Itulah tujuan yang diusulkan oleh Lewis pada tahun 1944 dan diselundupkan oleh Piagam PBB 1947. Diktum Lewis pada 1955, “Pertama-tama haruslah dicatat bahwa persoalan pokok kita adalah partum-buhan, bukannya distribusi.”
[2] Tokoh oposisi yang bergabung dalam Petisi 50 seperti mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin di-
persulit hidupnya dan dilarang ke luar negeri.
[3] Musisi dangdut Oma Irama dilarang tampil di TVRI karena Oma adalah penduduk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), bukan partai pemerintah. Tokoh oposisi yang jujur, bersih dan mantan Kapolri, Hoegeng juga dilarang muncul di TVRI karena sikapnya yang kritis. Padahal di TVRI, Hoegeng hanya tampil menyanyikan lagu-lagu Hawai.
[4] Winters, Jeffrey A. 1999. Dosa-dosa Politik Orde Baru, Jakarta: Penerbit Djambatan. Hlm. 5.
[5] Ibid, hlm. 9.
[6] Kesuksesan Swami tersebut tidak terlepas dari figur Iwan Fals dan lagu yang dibawakan yaitu Bento dan Bongkar. Lagu Bento menjadi menjadi identik dengan Iwan Fals. Dimana ada Iwan di situ ada Bento. Penjualan kaus, poster dan segala pernak-pernik bertuliskan Iwan, Swami, Bento laku keras di kaki-kaki lima. Bagi Iwan Fals sendiri, ini bisa dikatakan sebagai puncak kejayaan karir bermusiknya.
[7] Nama lengkapnya Naniel K Yakin, mantan wartawan tabloid Mutiara.
[8] Minor Label adalah perusahaan rekaman dengan angka penjualan, wilayah distribusi, dan akses promosi yang terbatas. Hal ini berlawanan dengan mayor label.
[9] “Catatan Kehidupan Iwan Fals,” dalam Tabloid Bintang No 293/Th VI. Minggu Kedua Oktober 1996.
[10] Ibid.
[11] Konon kabarnya, Bung Karno mendapat ide bagi penerapan teori Marx ke dalam konteks Indonesia ini karena bertemu seorang petani kecil di suatu daerah di Jawa Barat. Dari dialog dengan petani kecil bernama Marhaen ini, Bung Karno merumuskan ideologi yang dinamainya Marhaenisme.
[12] Sejumlah partai politik era reformasi juga menyebut Marhaenisme dan ajaran-ajaran Bung Karno lainnya sebagai landasan ideologinya, terlepas dari sekadar basa-basi atau betul-betul nyata.
CATATAN:
Ini sebenarnya adalah Paper tugas Kelompok IV (dengan anggota Agnes Setyowati H., Dhita Hapsarani, Irzanti S., Muhammad Mulyadi, R. Suryanto, dan Satrio Arismunandar), untuk Mata Kuliah Teori dan Metodologi Ilmu Pengetahuan Budaya, di Program S3 FIB-UI. ***
Posted by Satrio Arismunandar at 5:56 AM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar