Once upon a time there was a prince who wanted to marry a princess; but she would have to be a real princess. He travelled all over the world to find one, but nowhere could he get what he wanted. There were princesses enough, but it was difficult to find out whether they were real ones. There was always something about them that was not as it should be. So he came home again and was sad, for he would have liked very much to have a real princess.
One evening a terrible storm came on; there was thunder and lightning, and the rain poured down in torrents. Suddenly a knocking was heard at the city gate, and the old king went to open it. It was a princess standing out there in front of the gate. But, good gracious! what a sight the rain and the wind had made her look. The water ran down from her hair and clothes; it ran down into the toes of her shoes and out again at the heels. And yet she said that she was a real princess.
Well, we'll soon find that out, thought the old queen. But she said nothing, went into the bed-room, took all the bedding off the bedstead, and laid a pea on the bottom; then she took twenty mattresses and laid them on the pea, and then twenty eider-down beds on top of the mattresses.
On this the princess had to lie all night. In the morning she was asked how she had slept.
"Oh, very badly!" said she. "I have scarcely closed my eyes all night. Heaven only knows what was in the bed, but I was lying on something hard, so that I am black and blue all over my body. It's horrible!"
Now they knew that she was a real princess because she had felt the pea right through the twenty mattresses and the twenty eider-down beds.
Nobody but a real princess could be as sensitive as that. So the prince took her for his wife, for now he knew that he had a real princess; and the pea was put in the museum, where it may still be seen, if no one has stolen it.
There, that is a true story.
Tittle The Princess and the Pea
Theme Honesty, Brilliant idea
=>"Oh, very badly!" said she. "I have scarcely closed my eyes all night. Heaven only knows what was in the bed, but I was lying on something hard, so that I am black and blue all over my body. It's horrible!"
Now they knew that she was a real princess because she had felt the pea right through the twenty mattresses and the twenty eider-down beds.
=> took all the bedding off the bedstead, and laid a pea on the bottom; then she took twenty mattresses and laid them on the pea, and then twenty eider-down beds on top of the mattresses
Point of view Third person
Once upon a time there was a prince who wanted to marry a princess; but she would have to be a real princess. He travelled all over the world to find one, but nowhere could he get what he wanted. There were princesses enough, but it was difficult to find out whether they were real ones. There was always something about them that was not as it should be. So he came home again and was sad, for he would have liked very much to have a real princess.
Plot Closed Plot
So the prince took her for his wife, for now he knew that he had a real princess; and the pea was put in the museum, where it may still be seen, if no one has stolen it.
Dramatic Conflict Social Conflict
Now they knew that she was a real princess because she had felt the pea right through the twenty mattresses and the twenty eider-down beds. Nobody but a real princess could be as sensitive as that.
Setting or Situation Castle and Bedroom
It was a princess standing out there in front of the gate AND went into the bed-room
Style The author use some imagery like as: It was a princess standing out there in front of the gate AND ALSO at one evening a terrible storm came on; there was thunder and lightning, and the rain poured down in torrents.
Character Prince
Stubborn (He travelled all over the world...to find the real princess)
Princess
Honest ("Oh, very badly!" said she. "I have scarcely closed my eyes all night. Heaven only knows what was in the bed, but I was lying on something hard, so that I am black and blue all over my body. It's horrible!")
old Queen
Smart (Well, we'll soon find that out, thought the old queen. But she said nothing, went into the bed-room, took all the bedding off the bedstead, and laid a pea on the bottom; then she took twenty mattresses and laid them on the pea, and then twenty eider-down beds on top of the mattresses)
Old King
Good-hearted (the old king went to open it)
UNIROW
Senin, 31 Januari 2011
SKRIPSI KRITIK SOSIAL DALAM EMPAT LIRIK LAGU DI ALBUM KELOMPOK MUSIK SWAMI I (IWAN FALS DKK.)
I. Latar Belakang
Kesenian, khususnya seni musik, merupakan bagian dari kebudayaan. Melalui musik, manusia mengekspresikan perasaan, harapan, aspirasi, dan cita-cita, yang me-representasikan pandangan hidup dan semangat zamannya. Oleh karena itu, melalui kesenian, kita juga bisa menangkap ide-ide dan semangat yang mewarnai pergulatan zaman bersangkutan.
Indonesia sendiri adalah suatu negeri yang kaya dengan berbagai karya seni, khususnya seni musik, yang mewakili pandangan hidup dan semangat zamannya. Salah satu era yang penting dalam perjalanan bangsa ini adalah era Orde Baru yang dimulai dengan naiknya Jenderal Soeharto ke tampuk pimpinan pemerintahan pada penghujung 1960-an sampai berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto pada penghu-jung 1990-an.
Salah satu grup musik yang sempat mewarnai era Orde Baru adalah Swami, dengan ikonnya Iwan Fals. Mereka telah menelurkan sejumlah album dan salah satu yang menonjol adalah album Swami I. Lirik-lirik lagu dalam album Swami I ini me-wakili pandangan hidup mereka, sekaligus mengekspresikan semangat zamannya. Untuk memahami lirik-lirik lagu yang ditampilkan dalam album Swami I, kita perlu meninjau konteks kondisi sosial, ekonomi, dan politik Indonesia pada era tersebut.
1.1 Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Politik Indonesia 1989
Penghujung 1980-an adalah saat rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto mencapai puncak kekuatannya. Pemerintah Soeharto menjadikan ekonomi sebagai panglima dan seluruh elemen masyarakat dimobilisasi di bawah panji “pembangunan” (development).
Konsep utama pembangunan seharusnya adalah perbaikan mutu kehidupan rakyat. Dalam pembangunan, seharusnya tercakup unsur perubahan yang berdimensi sosial kultural dan ekonomi, serta bersifat kualitatif dan kuantitatif. Namun, seperti di banyak negara berkembang lain, pembangunan di Indonesia telah direduksi makna-nya menjadi “pertumbuhan ekonomi” (economic growth) semata sehingga pembangunan secara sederhana berarti pertumbuhan pendapatan setiap orang di daerah yang secara ekonomis terbelakang.[1]
Harus diakui, pembangunan ekonomi yang substansial memang pernah berja-lan di Indonesia. Pada tahun 1966, pendapatan per kapita tahunan di Indonesia sekitar US$ 75. Ekonomi ini terus tumbuh lewat utang luar negeri dan sumbangan sektor migas. Pertumbuhan ekonomi riil selama tahun 1980-an dan 1990-an hampir selalu berkisar antara 6 sampai 7 persen per tahun. Inflasi tahunan rata-rata masih dapat ditekan di bawah level 10 persen.
Perbaikan yang berarti juga dicapai dalam pemberantasan tuna aksara di ka-langan orang dewasa, peningkatan usia harapan hidup, menurunnya angka kematian bayi, dan pembatasan tingkat pertumbuhan penduduk lewat program KB.
Berbagai hasil ini mendorong Bank Dunia untuk menjadikan Indonesia seba-gai contoh “model sukses” pembangunan. Indonesia diajukan sebagai tolok ukur ki-nerja negara-negara berkembang lain, dalam Laporan Pembangunan Dunia (World Development Report) 1990, yang disusun oleh Bank Dunia.
Namun, ada harga yang harus dibayar untuk “kesuksesan ekonomi” itu. Untuk mengejar pertumbuhan ekonomi tersebut, pemerintah memerlukan kestabilan politik di dalam negeri. Selanjutnya, dengan dalih perlunya stabilitas politik ini, pemerintah bersikap represif dan memberlakukan sejumlah aturan otoriter.
Pers dan media massa dikontrol ketat. Media yang kritis dibreidel dan dilarang terbit. Jumlah partai politik dibatasi, dan mereka tidak boleh masuk ke desa-desa. Sementara pegawai negeri dan anggota keluarga ABRI dipaksa memilih Golkar, partainya penguasa. Lewat para pejabat, Golkar justru leluasa masuk ke desa-desa.
Tokoh-tokoh oposisi yang kritis dipenjarakan atau disingkirkan,[2] sedangkan, kebebasan berekspresi di bidang seni juga ditindas, khususnya kalangan seniman yang tidak sejalan dengan kepentingan rezim.[3] Jika diperlukan, pemerintah juga tidak se-gan-segan menggunakan cara-cara represif, demi “menjaga ketertiban masyarakat” dan “melancarkan jalannya roda pembangunan.”
Karena yang dinomorsatukan adalah pertumbuhan ekonomi, sementara distribusi ekonomi atau pemerataan kesejahteraan tidak menjadi prioritas, maka terjadilah kesenjangan antara kelompok elite atau mereka yang diuntungkan oleh “pembangunan,” dan rakyat banyak yang tertinggal atau ditinggalkan dalam proses “pembangunan.”
Ada sejumlah konglomerat, pengusaha, birokrat, dan pejabat yang -karena kedekatan dengan penguasa- menikmati kue pembangunan. Sebaliknya, banyak rak-yat kecil yang hidupnya tertekan. Teori bahwa kemakmuran di kalangan atas pada akhirnya akan mengalir ke bawah (trickle-down effect) dan dinikmati oleh kalangan bawah, ternyata tidak terbukti.
Yang kaya bisa semakin kaya, sedangkan yang miskin semakin miskin. Presiden Soeharto sendiri diduga memiliki kekayaan miliaran dollar pada tahun 1989. Jika digabung dengan harta istri dan anak-anaknya, ditambah lingkaran kroni sipil dan militernya, jumlah tersebut membengkak sampai puluhan miliar dollar.[4] Keakuratan angka ini mungkin bisa diperdebatkan, tetapi fakta bahwa Soeharto beserta keluarga dan kroni-kroninya telah menumpuk kekayaan dengan memanfaatkan kekuasaan, tampaknya disepakati oleh banyak pengamat.
Strategi politik dan ekonomi Soeharto – yang bermotivasi pengumpulan harta besar-besaran bagi segelintir manusia, sementara mengesampingkan kepentingan ma-yoritas penduduk – telah ditanamkan di Indonesia sejak akhir tahun 1960-an.[5] Sayangnya, sistem politik Indonesia yang otoriter menyulitkan berjalannya pengawasan yang efektif terhadap pihak-pihak yang ingin menggunakan kekayaan negara untuk keuntungan pribadi.
Kesenjangan semacam inilah yang dilihat para anggota Swami dalam inter-aksinya sebagai seniman dengan masyarakat sehari-hari. Gambaran suram dan mem-prihatinkan inilah yang memberi inspirasi pada karya-karya mereka, yang bercorak kritik sosial. Pihak yang kaya dan berkuasa asyik dengan ambisi dan kenikmatan hidupnya sendiri, sementara rakyat kecil yang seharusnya disejahterakan ternyata nasibnya malah diabaikan.
1.2. Alasan Pemilihan Album Swami I
Album Swami I dipilih karena album ini dianggap mewakili semangat zaman-nya. Salah satu ukuran keterwakilan itu adalah respons positif masyarakat terhadap album serta lagu-lagu di dalamnya, yang bisa dilihat dari angka penjualan. Album Swami ini meledak di pasaran.
Angka penjualan album ini sangat tinggi, hingga mencapai 800 ribu kopi dalam jangka waktu satu bulan. Padahal, angka penjualan tersebut dicapai tanpa pro-mosi besar-besaran. Swami I berhasil mencapai sukses di pasar industri musik Indo-nesia dengan lagu-lagu yang sarat dengan kritik sosial sekaligus menghibur.
1.3. Alasan Pemilihan Empat lagu
Hampir semua lagu di album Swami I ini menjadi hits, tetapi yang dikate-gorikan sebagai hits besar dari Swami adalah lagu Bento dan Bongkar.[6] Dua lagu lain yang dipilih untuk dianalisis di sini adalah Potret dan Oh…Ya!. Empat lagu ini dipilih karena popularitasnya, dan sekaligus juga karena lagu-lagu itu menunjukkan karakter yang kuat dalam konteks kritik sosial.
1.4. Permasalahan
Secara sepintas, lagu-lagu dalam album Swami I mengekspresikan kritik sosial. Namun, tim peneliti ingin menelaah secara lebih spesifik. Pertama, bagaimanakah penguasa atau kelas atas ditampilkan dalam lirik-lirik lagu Swami? Kedua, di sisi lain, bagaimanakah kelas bawah ditampilkan? Ketiga, bagaimanakah pertentangan kelas ditampilkan? Dan terakhir, kritik sosial macam apakah yang diangkat di dalam keempat lirik ini?
1.5. Tujuan
Makalah ini hendak menunjukkan kritik sosial yang ditampilkan dalam lirik dari keempat lagu Swami I dengan menganalisis representasi penguasa, kelas atas, kelas bawah, dan pertentangan di antara mereka.
1.6. Metodologi dan Metode Penelitian
Makalah ini menggunakan pendekatan kualitatif dan lintas disiplin yang meliputi bidang ilmu sejarah, filsafat, susastra, dan linguistik.
Metodologi yang diterapkan adalah metodologi kualitatif karena objek penelitian berupa lirik lagu, dan tujuan penelitian adalah memahami isi lirik lagu, dalam kaitannya dengan peristiwa sosial. Pemahaman dilakukan melalui interpretasi peneliti dengan pisau analisis teori konotasi dari Barthes.
Berhubungan dengan metodologi tersebut, berikut ini uraian metode yang dilaksanakan: Lirik lagu dari album Swami I diklasifikasi berdasarkan topik. Pada tahap selanjutnya, dipilih empat lirik lagu berdasarkan sebuah topik. Kemudian, kata-kata yang memperlihatkan fenomena yang sesuai dengan topik dipilah dan dikelom-pokkan. Akhirnya, data dianalisis untuk mencapai tujuan penelitian.
II. Grup Musik Swami
2.1. Lahirnya Swami
Swami adalah grup musik yang dibentuk oleh Setiawan Djodi, Iwan Fals, Sawung Jabo, Innisisri, Naniel,[7] dan Nanoe pada tahun 1989. Swami dijadikan nama grup, atas usul Sawung Jabo yang berasal dari plesetan 'Suami,' karena semua anggotanya berstatus suami.
Kesepakatan awal para anggota Swami adalah membentuk grup untuk jangka waktu tiga tahun. Oleh karena itu, Swami membubarkan diri pada 1991.
Tidak lama setelah dibentuk, Swami berhasil mengeluarkan album yang diberi judul Swami. Dalam album Swami I yang berformat kaset, terdapat sepuluh lagu yang masing-masing side memuat lima lagu. Dalam side A termuat lagu-lagu, dengan data musisi yang menciptakan lagu tersebut. Lengkapnya adalah sebagai berikut:
Side A
1. Bento (Iwan Fals / Naniel ) -SWAMI
2. Bongkar (Iwan Fals / Sawung Jabo) -SWAMI
3. Badut (Iwan Fals / Sawung Jabo / Naniel) -SWAMI
4. Esek.Esek..Udug.Udug.. (Iwan/ Jabo / Naniel) -SWAMI
5. Potret (Iwan Fals / Sawung Jabo / Naniel) -SWAMI
Sementara dalam side B, lagu-lagu yang dimuat dengan data musisi yang menciptakannya adalah sebagai berikut:
Side B
1. Bunga Trotoar (S Djody / Iwan / Jabo / Naniel) -SWAMI
2. Oh... Ya! (Iwan Fals / Sawung Jabo / Naniel) -SWAMI
3. Condet (Iwan Fals / Naniel) - -SWAMI
4. Perjalanan Waktu (Iwan Fals / S.Jabo / Naniel) –SWAMI
5. Cinta (Iwan Fals/ Sawung Jabo/Naniel)- SWAMI
Album Swami I ini diproduksi pada tahun 1990 oleh Airo Records Pro-ductions, suatu perusahaan rekaman yang dapat dikelompokkan sebagai minor label[8]. Pada sampul album ini nama Iwan Fals dicantumkan di atas nama Swami, atas usulan Setiawan Djodi, yang merasa tanpa nama Iwan Fals, album Swami tidak akan dilirik. Dengan demikian Iwan Fals dijadikan trade mark, bukan Sawung Jabo dengan grup Sirkus Barock-nya.
Saat itu Iwan Fals dinilai sebagai musisi yang berani mengkritik korupsi dalam pemerintah yang berkuasa (terutama pada masa rezim Orde Baru) dan yang lirik-liriknya menyentuh hati berbagai kalangan masyarakat (terutama rakyat kecil). Hal ini menjadi istimewa mengingat tidak banyak artis yang memiliki keberanian dan karakter merakyat seperti Iwan Fals.
Kebanyakan artis pop pada masa itu dipandang kurang peka pada masalah-masalah sosial sehingga ada yang mengatakan bahwa mu-sik Iwan Fals merupakan suara rakyat (voices of people).
Faktor utama yang menyebabkan popularitas lagu-lagu Iwan Fals dan kelom-pok musik Swami I adalah tema musik yang mengambil inspirasinya dari kehidupan sehari-hari sehingga meninggalkan kesan memasyarakat, serta kritik sosialnya yang dinilai berani.
Masuknya Setiawan Djodi ke dalam kelompok Swami merupakan suatu anomali. Pada satu sisi kelompok Swami adalah kelompok musik yang mengusung lagu-lagu protes sosial sebagai tema utamanya, pada sisi lain Setiawan Djodi adalah bagian dari kelas sosial yang diprotes. Setiawan Djodi dikenal sebagai seorang konglomerat kaya raya, yang punya hubungan dekat atau perkawanan dengan putra-putra Presiden Soeharto.
Popularitas memang tidak otomatis identik dengan kualitas karya. Namun, dalam melihat kualitas musik Swami I, harus dipahami bahwa seni (modern) tidak hanya identik dengan keindahan, melainkan meliputi kategori-kategori lainnya, seperti tragis dan ketidakharmonisan (sebagai kebalikan dari keselarasan), serta pemberontakan.
Manusia memang tidak selalu menjadi homo estheticus, melainkan juga manusia sosial, yang berakar pada sejarah dan kondisi sosial-masyarakat tertentu sehingga tidak mengherankan, jika dalam menciptakan sebuah karya seni seorang se-niman akan mendapat pengaruh pula dari lingkungan dan zamannya.
2.2. Konteks Pembuatan Lagu
Menurut pengakuan Iwan Fals, sebagai bagian dari grup Swami, semua lagu yang dibuatnya jujur dan mempunyai peristiwa, meskipun ada unsur pendramtisa-sian. Unsur pendramatisasian paling tampak pada lagu-lagu pesanan.
Secara pasti Iwan Fals juga menyatakan bahwa tujuannya membuat lagu adalah untuk dijual dan laku. Namun, antara pilihan laku dan suara hati, Iwan menya-takan suara hati adalah pilihannya, meskipun unsur ingin laku selalu mempenga-ruhinya. Hanya saja pada saat membuat syair, tidak ada urusannya dengan itu.[9]
Lagu Bongkar, misalnya, pada awalnya bukan seperti yang sudah ada di al-bum rekaman Swami I. Gagasan lagu Bongkar berasal dari beberapa kasus penggu-suran yang terjadi pada saat Orde Baru, seperti kasus Kedung Ombo, Kaca Piring, dan Way Jepara. Kemudian Sawung Jabo mengusulkan perubahan lagu Bongkar dan disetujui oleh anggota Swami.
Perubahan dilakukan dengan tidak membahas kasus per kasus dalam setiap lagu. Iwan melihat usulan Sawung Jabo tersebut sebagai pemikiran yang tepat, karena lagu Bongkar lebih langsung mengenai sasaran. Lebih otentik dan jujur.[10]
III. Kerangka Teori
Representasi merupakan salah satu proses dalam sirkuit kebudayaan di sam-ping identitas, produksi, konsumsi, dan regulasi yang beroperasi berdasarkan sistem tanda. Tanda-tanda tersebut menghasilkan makna tertentu, yang pada akhirnya dapat memperlihatkan identitas individu atau kolektif, serta posisi yang diambil oleh pem-buat representasi.
Posisi yang berbeda akan menghasilkan representasi yang berbeda. Representasi budaya yang dihasilkan pemerintah Orde Baru pastilah berbeda dari representasi budaya yang dihasilkan oleh mereka yang berada pada posisi yang berseberangan dengan Orde Baru.
3.1 Teori Konotasi Roland Barthes
Dalam linguistik modern, makna unsur leksikal dibedakan atas makna yang objektif dan tetap, serta yang subjektif dan bervariasi. Meskipun berbeda, kedua makna tersebut ditentukan oleh konteks.
Makna yang pertama, makna denotatif, berkaitan dengan sosok acuan, mi-salnya kata merah bermakna ‘warna seperti warna darah’ (secara lebih objektif, makna dapat digambarkan menurut tata sinar). Konteks dalam hal ini untuk memecahkan masalah polisemi; sedangkan pada makna konotatif, konteks mendukung munculnya makna yang tidak objektif.
Barthes mengatakan bahwa sebuah tanda (dalam hal ini tanda bahasa) adalah sebuah sistem yang terdiri atas expression/Signifier (E) yang dihubungkan (Relation/R) dengan content (C). Dalam kaitannya dengan penanda (expression/ signifier) dan petanda/konsep (content/signified), Barthes menggambarkan hubungan kedua makna tersebut sebagai berikut:
Menurut Barthes, makna lain yang tidak objektif dan tidak tetap seperti itu adalah makna konotatif. Makna ini berkaitan dengan:
1. majas (metafora, metonimi, hiperbola, eufemisme, ironi, satira, dan sebagainya);
2. pengalaman pribadi atau masyarakat penuturnya, yang menimbulkan reaksi dan memberi makna konotasi emotif. Misalnya: halus, kasar/tidak sopan, peyoratif, akrab, kanak-kanak, menyenangkan, menakutkan, bahaya, tenang, dan sebagainya. Jenis ini tidak terbatas.
Pada contoh di atas: MERAH bermakna konotatif emotif. Konotasi ini bertujuan membongkar makna yang terselubung.
Lirik lagu Swami menarik dianalisis dengan teori Barthes, karena mengan-dung makna konotatif, baik yang berupa majas maupun yang berupa reaksi.
3.2 Teori Pertentangan Kelas Karl Marx
Marx menyatakan bahwa sejarah dari berbagai masyarakat hingga saat ini pa-da dasarnya adalah sejarah tentang pertentangan kelas, yakni antara kelas yang memi-liki alat-alat produksi (kaum kapitalis) dan kelas yang tidak memiliki alat-alat pro-duksi (kelas pekerja atau buruh).
Kaum kapitalis memeras tenaga buruh demi keuntungan modal dan membuat kelas pekerja ini hidup dalam kondisi yang sangat tidak manusiawi. Dengan demi-kian, kelas pekerja ini teralienasi dan tidak bisa mengembangkan potensi-potensi ke-manusiaannya.
Marx percaya bahwa kapitalisme yang ada pada akhirnya akan kalah dan di-gantikan dengan komunisme. Kapitalisme akan berakhir akibat aksi yang dikelola oleh kelas pekerja internasional. Kondisi ideal masyarakat tanpa kelas akhirnya akan tercapai, setelah beberapa periode dari sosialisme radikal yang menjadikan negara sebagai wujud kediktaktoran proletariat.
Di Indonesia, Soekarno mencoba menerjemahkan, mengadaptasi, dan mengaplikasikan teori Marx tersebut ke dalam konteks Indonesia, yang berbeda dengan konteks Rusia, tempat asal teori Marx. Di Indonesia, yang ada bukanlah kelas pekerja (buruh) yang sama sekali tidak memiliki alat-alat produksi seperti di Rusia, melainkan kalangan rakyat kecil yang memiliki alat produksi sendiri, tetapi dalam jumlah yang sangat kecil, misalnya, petani yang memiliki sepetak sawah kecil, tukang bakso yang memiliki satu gerobak bakso sendiri, pedagang asongan yang memiliki lapak kecil, tukang becak yang memiliki satu becak sendiri, dan sebagainya. Bung Karno menyebut mereka sebagai “kaum Marhaen,”[11] dan ideologinya disebut Marhaenisme.[12]
Teori pertentangan kelas dari Marx, dengan versi adaptasinya seperti yang digagas oleh Soekarno, digunakan dalam menganalisis teks di makalah ini. Pertimbangan penggunaannya adalah karena teori tersebut dianggap cocok dengan konteks situasi dan kondisi masyarakat Indonesia era Orde Baru (1989), khususnya pada saat kelompok musik Swami menghasilkan karya-karyanya.
IV. Analisis Lirik Lagu
Keberadaan Iwan Fals, yang dikenal dengan lagu-lagunya yang penuh dengan kritik sosial, sebagai anggota grup band SWAMI menjanjikan bahwa album SWAMI I diwarnai oleh lirik lagu yang bersifat mengritik penguasa. Memang jika dilihat dari permukaan, tampaknya keempat lirik lagu ini ditandai dengan kritikan terhadap penguasa dan penindasan yang mereka lakukan kepada masyarakat miskin. Keempat lirik lagu mengangkat dua kelas sosial yang saling berseberangan, yaitu kelas bawah yang tertindas dan kelas atas yang menindas.
Kelas bawah diwakili oleh tiga lirik lagu, yaitu Potret, Oh ya, dan Bongkar sementara kelas atas diwakili oleh lirik lagu Bento. Kelas bawah di dalam keempat lirik ini digambarkan sebagai kelompok orang yang tertindas oleh kemiskinan dan oleh kesewenangan dan keserakahan penguasa. Ketertindasan oleh kemiskinan diangkat dalam lirik lagu Potret dan Oh ya. Potret menyoroti miskinnya kehidupan masyarakat di kalangan ini sehingga yang menjadi tujuan hidup mereka hanya memenuhi kebutuhan primer, yaitu uang untuk membeli makanan. Hal ini secara gamblang dinyatakan di dalam bait pertama dan bait ketiga:
Orang orang resah
Berlomba kejar nafkah
Demi anak bini
Demi sesuap nasi
Uang dimana uang?
Nasi dimana nasi?
Uang dimana uang?
Nasi dimana nasi?
Orang-orang dari kelompok sosial ini ditampilkan sebagai orang-orang yang resah karena harus berlomba mengejar nafkah. Mencari uang untuk membeli makanan diumpamakan sebagai sebuah pertandingan. Siapa cepat dia yang dapat. Itu semua dilakukan hanya untuk mendapatkan uang dan nasi, yang berarti bahwa nafkah yang dikejar itu bukan uang dalam jumlah besar melainkan jumlah yang kecil.
Ukuran kecil di sini karena hanya cukup untuk membeli makanan. Pengulangan pertanyaan Uang dimana uang? Nasi dimana nasi? dalam bait ketiga memperlihatkan bahwa yang menjadi obsesi orang-orang ini adalah uang dan nasi.
Dalam lirik lagu Oh ya, kondisi miskin yang menguasai kelas bawah diperlihatkan secara tajam melalui kontras antara impian masyarakat kelas bawah dengan kenyataan yang dihadapinya. Di dalam lirik lagu ini, aku lirik yang berasal dari kelas bawah bermimpi untuk memiliki materi dan kedudukan yang umumnya menjadi penanda kelas atas.
Materi yang diimpikan adalah mobil yang dikontraskan dengan bus, dan rumah dengan gubuk. Meskipun mobil dan bus sama-sama merupakan alat transportasi, tetapi kualitasnya berbeda. Demikian juga rumah dan gubuk. Mobil dan rumah menawarkan kenyamanan sekaligus prestise yang tidak didapatkan dari bus dan gubuk.
Andaikata aku di mobil itu
Tentu tidak di bus ini
Seandainya aku rumah itu
Tentu tidak di gubuk ini
Impian lainnya berkaitan dengan kedudukan yang ditandai dengan kontras antara direktur dengan penganggur. Selain menyatakan jabatan yang tinggi di dalam susunan organisasi perusahaan, direktur juga mengindikasikan posisi yang tinggi di dalam pandangan masyarakat yang tidak didapatkan aku lirik sebagai penganggur. Kontras ini menunjukkan betapa jauhnya perbedaan antara impian dengan kenyataan yang dihidupi oleh aku lirik.
Kalau saja aku jadi direktur
Tentu tidak jadi penganggur
Umpamanya aku dapat lotere
Tentu saja aku tidak kere
Setelah berangan-angan untuk menjadi direktur, aku lirik berandai-andai mendapat lotere, yang kemudian dikontraskan dengan kenyataan bahwa ia hanya kere. Pemilihan kata kere ini menunjukkan bahwa aku lirik berada pada tingkat sosial yang paling rendah. Terdapat rasa pesimis di sini bahwa keadaan aku lirik sudah sedemikian terpuruk sehingga tidak ada lagi yang dapat dilakukan untuk mengubahnya. Yang dapat dilakukannya hanyalah berkhayal sebagaimana tampak dari pengulangan kata-kata pengandaian seperti andaikata, seandainya, kalau saja, umpamanya.
A a a andaikata
Se se se seandainya
Oh ya!Ka ka ka kalau saja
U u u umpamanya
Oh ya!Oh ya! Ya nasib
Nasibmu jelas bukan nasibku
Oh ya! Ya takdir
Takdirmu jelas bukan takdirku (2x)
Aku bosan
A a a andaikata
Se se se seandainya
Ka ka ka kalau saja
U u u umpamanya
Oh ya!
Karena terlalu sering bermimpi, pada akhirnya aku lirik menjadi bosan dan pasrah pada nasib, pada takdir. Dengan mengatakan bahwa semua perbedaan itu merupakan nasib dan takdir, maka aku lirik tidak melihat adanya jalan keluar dari kemiskinannya.
Di dalam lirik lagu Bongkar sudut pandang yang dipakai adalah sudut pandang kami (jamak), yang merupakan bagian dari kelas bawah. Lagu ini menunjukkan bagaimana kelas bawah memandang dirinya sendiri serta kelas atas, dalam hal ini penguasa. Kami menampilkan dirinya sebagai sebagai orang-orang yang marah karena merasa telah menjadi korban penindasan orang-orang yang berkuasa.
Kalau cinta sudah di buang
Jangan harap keadilan akan datang
Sabar sabar sabar dan tunggu
Itu jawaban yang kami terima
Mereka terbiasa diperlakukan dengan tidak adil yang tercermin dari tidak adanya harapan bahwa keadilan akan datang. Mereka juga terbiasa ditelantarkan dan tidak dilayani sebagaimana tampak dari jawaban yang mereka terima (sabar sabar sabar dan tunggu) dari orang-orang yang seharusnya memberikan layanan publik.
Hoi hentikan hentikan
jangan diteruskan
Kami muak dengan ketidakpastian dan keserakahan
Lirik ini dengan gamblang memperlihatkan kemuakan dan kemarahan mereka akan ketidakpastian dan keserakahan, yang mengacu pada penguasa yang tidak adil dan tidak kompeten dalam menjalankan tugas mereka.
Kelas penguasa di dalam lirik lagu Bongkar dapat dikategorikan ke dalam kelas atas karena mereka memiliki posisi yang tinggi dalam masyarakat. Mereka memiliki kekuasaan untuk mengatur dan mengelola masyarakat. Kelas atas, dalam hal ini penguasa, diperlihatkan telah kehilangan cinta yang dapat dibaca sebagai telah kehilangan hati nurani yang membuat mereka mampu bertindak sewenang-wenang.
Penindasan serta kesewenang wenangan
Banyak lagi teramat banyak untuk disebutkan…
Kesedihan hanya tontonan
Bagi mereka yang diperkuda jabatan
Pemakaian kata diperkuda jabatan mengacu pada penguasa yang telah dikuasai oleh jabatan mereka sehingga kehilangan hati nurani. Akibatnya, mereka melihat kesedihan orang lain hanya sebagai tontonan dan tidak tergerak untuk berbuat sesuatu untuk memperbaiki keadaan. Mereka ini adalah orang-orang yang terobsesi dengan kedudukan mereka sehingga kehilangan kemanusiaan mereka.
Penggambaran yang serupa juga ada di dalam lirik lagu Bento. Aku lirik di dalam lagu ini adalah Bento yang adalah seseorang pengusaha papan atas. Untuk mengukuhkan kedudukannya sebagai tokoh kelas atas, Bento memamerkan kekayaannya, status sosialnya dan kekuasaannya.
Namaku Bento
rumah real estate
Mobilku banyak harta berlimpah
Orang memanggilku boss eksekutif
Tokoh papan atas atas segalanya
Asyik
Tingkat kekayaan yang dipamerkannya ditandai dengan rumah, mobil, dan harta. Pemakaian kata real estate yang berasal dari bahasa Inggris menunjukkan bahwa rumah yang dimaksud bukan rumah biasa melainkan rumah yang memiliki nilai sosial tertentu. Mobil yang dimilikinya juga tidak hanya satu, tetapi banyak yang semakin diperkuat dengan harta yang berlimpah.
Untuk memperlihatkan kedudukannya, ia memosisikan dirinya sebagai boss eksekutif. Kata boss menunjukkan bahwa ia berada pada puncak pimpinan sehingga memiliki kekuasaan yang besar atas bawahannya. Eksekutif dapat memiliki dua arti karena dapat berarti top management dari suatu perusahaan, tapi dapat juga mengacu pada badan eksekutif pemerintahan. Tidak cukup dengan memperlihatkan posisi strukturalnya, Bento menegaskan bahwa ia merupakan tokoh papan atas atas segalanya yang dapat diartikan bahwa ia menganggap dirinya sebagai tokoh masyarakat di dalam segala bidang.
Deksripsi diri yang dilakukan Bento memperlihatkan nada sombong dan pongah. Ia tampak begitu menikmati kedudukan, kekayaan dan keberhasilannya. Ia bahkan melanjutkan deskripsi dirinya dengan menyombongkan wajahnya yang ganteng yang menjadikannya pujaan banyak wanita. Banyak simpanan yang mengacu pada wanita yang sekali dilirik mau dijadikan simpanannya merupakan suatu cara untuk menunjukkan bahwa kekuasaannya tidak berhenti pada materi dan kedudukan, tetapi juga manusia.
Wajahku ganteng
banyak simpanan
Sekali lirik oke sajalah
Bisnisku menjagal jagal apa saja
Yang penting aku senang
aku menang
Sikap yang sama juga ditunjukkan dengan deskripsinya tentang bagaimana ia menjalankan usahanya. Bento diperlihatkan menyombongkan dirinya dengan mengatakan bahwa bisnisnya menjagal apa saja yang ia inginkan. Secara implisit pernyataan ini menunjukkan bahwa kekuasaannya begitu besar sehingga ia dapat dengan mudah menjatuhkan orang lain yang diinginkannya.
Persetan orang susah karena aku
Yang penting asyik sekali lagi
Asyik
Pengulangan kata asyik semakin menekankan bahwa kesenangan dan kepuasannya adalah yang paling penting baginya. Ia tidak peduli pada akibat yang ditimbulkannya pada orang lain.
Khotbah soal moral omong keadilanSarapan pagikuAksi tipu tipu lobying dan upetiWoow jagonya
Maling kelas teri bandit kelas coro
Itu kantong sampah
Siapa yang mau berguru datang padaku
Sebut tiga kali namaku
Bento Bento Bento
Asyik
Bento juga memperlihatkan dirinya sebagai penipu ulung yang tidak memiliki rasa bersalah. Ia bahkan memproklamasikan dirinya sebagai penjahat paling top, jauh di atas maling dan bandit.
Secara keseluruhan, deskripsi Bento tentang dirinya sebenarnya merupakan suatu strategi untuk membongkar apa yang ada di balik kekayaan dan keberhasilan yang tampak dari luar tanpa harus menudingkan jari kepada orang lain karena Bento membuka kedoknya sendiri.
Kepongahan Bento di satu sisi merupakan satir terhadap kepongahan kelas atas dan di sisi lainnya menciptakan jarak antara pembaca dengan Bento karena sulit bagi pembaca untuk bersimpati pada tokoh seperti dia.
Jika representasi kelas bawah dan atas diperbandingkan, tampak ada perbedaan kelas antara yang kaya dan yang miskin, antara yang berkuasa dan yang tertindas. Dalam beberapa lirik lagu, perbedaan tersebut mengarah pada pertentangan kelas. Yang paling menonjol terlihat di dalam lirik lagu Bongkar. Di dalam lirik lagu ini jalan keluar yang dipilih kelas bawah untuk menyampaikan aspirasi mereka adalah dengan turun ke jalan atau melakukan demonstrasi.
Penguasa direpresentasikan sebagai setan yang berdiri mengangkang yang dapat diartikan sebagai kekuatan jahat yang menunjukkan kekuasaannya dengan menghalangi tercapainya tujuan demonstrasi. Pertentangan dipertajam dengan refrain lagu yang mengulang-ulang kata bongkar.
Ternyata kita harus ke jalan
Robohkan setan yang berdiri mengangkang
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Dalam Bongkar, kaum yang tertindas pada awalnya diperlihatkan memiliki keberanian menyuarakan keinginannya untuk mengubah keadaan. Akan tetapi, menjelang akhir lirik, pertentangan kelas yang dilakukan di jalan itu ditarik ke dalam rumah, yaitu pada kehidupan rumah yang tidak harmonis. Rumah dalam lirik ini merupakan analogi sebagai keadaan negara atau pemerintahan yang diacu di bagian awal lirik. Jika pemerintahan dianalogikan sebagai rumah Dalam rumah ada orang tua yang juga dapat dianalogikan sebagai pemimpin atau pemerintahan.
Karena pemerintah dianalogikan sebagai keluarga, seolah-olah menjadi sebuah kemustahilan untuk melakukan perlawanan. Melalui analogi semacam itu, pertentangan kelas pun tidak terlihat frontal. Seperti halnya dalam keluarga, harmoni tetap dijaga, meskipun terjadi perselisihan-perselisihan dalam keluarga. Kata cinta dan keinginan diperlakukan manusiawi yang muncul pada lirik puisi, mengurangi tegangan emosi yang terdapat pada larik-larik sebelumnya sehingga perlawanan menjadi lebih “halus”.
Ungkapan Kok Bisa? Bisa kok! yang mengakhiri lirik lagu ini dapat dimaknai sebagai sebuah keingintahuan akan sebuah jawaban. Pertanyaan Kok Bisa? meragukan kemungkinan melawan “orang tua” tetapi jawaban Bisa kok! memberikan nada optimis bahwa perlawanan mungkin untuk dilakukan.
Pertentangan kelas yang halus dan tidak frontal tersebut didukung oleh persamaan antara kedua kelas. Kedua kelas yang tampaknya berseberangan dan berbeda ini ternyata memaknai keberhasilan dan kesuksesan dari segi materi, yaitu rumah, mobil, harta, dan kedudukan. Hal ini terlihat jelas dalam lirik lagu Oh ya dan Bento.
Kelas bawah dalam Oh ya bermimpi naik mobil dan bukan bus, memiliki rumah dan bukan gubuk, menjadi direktur dan bukan penganggur, serta mendapat uang banyak dari lotere sehingga tidak lagi menjadi kere. Sementara Bento sesumbar bahwa rumahnya adalah rumah real estate, mobilnya banyak, hartanya berlimpah dan jabatannya boss eksekutif serta tokoh papan atas.
Kedua kelas juga sama-sama diperlihatkan diperbudak oleh obsesi dan ambisi mereka. Dalam Potret diperlihatkan bahwa orang-orang dari kelas bawah ini resah karena mereka harus mengejar nafkah hidup mereka. Mereka bahkan ditampilkan sangat terobsesi dengan pencarian nafkah hidup tersebut, sebagaimana terlihat dalam pemakaian pertanyaan Uang dimana uang? dan nasi dimana nasi? sebagai refrain lagu.
Uang dimana uang?
Nasi dimana nasi?
Uang dimana uang?
Nasi dimana nasi?
Obsesi itu begitu menguasai mereka sehingga mereka ditampilkan telah kehilangan kemanusiaan mereka. Mereka dibandingkan dengan hewan dan dengan kereta api.
Seperti binatang
Bila lapar menerjang
Seperti kereta
Nafasnya terdengar
Lidahnya terjulur
Syahwatnya siap lentur
Soal harga diri
Sudah tak berarti
Orang-orang yang terobsesi oleh urusan perut dan nafkah ini diperlihatkan seperti binatang yang dikuasai rasa lapar, dikuasa insting dan bukan lagi rasio. Mereka dibandingkan dengan kereta yang nafasnya memburu dan seperti binatang yang dikuasai nafsu: nafasnya memburu, lidahnya terjulur dan syahwatnya siap lentur. Lebih jauh lagi secara gamblang dinyatakan bahwa mereka tidak lagi peduli soal harga diri sebab yang ada dalam pikiran mereka semata-mata adalah mendapatkan uang dan nasi.
Obsesi kelas atas diperlihatkan dalam Bento. Bagi orang macam Bento, bukan uang dan nasi yang dicari karena ia sudah memiliki kemewahan dan kelimpahan dalam segala hal.
Namaku Bento rumah real estate
Mobilku banyak harta berlimpah
Rumahnya bukan di kampung, tetapi di real estate yang menunjukkan bahwa ia merupakan bagian dari kelas atas. Dengan mobil yang banyak dan harta berlimpah tentu saja kebutuhan Bento bukan lagi pada kebutuhan tahap primer, berbeda dari orang-orang resah yang dipotret dalam lirik lagu Potret.
Bento direpresentasikan sebagai orang yang dikuasai dan diperbudak oleh nafsunya.
Bisnisku menjagal jagal apa saja
Yang penting aku senang aku menang
Persetan orang susah karena aku
Yang penting asyik sekali lagi
Asyik
Obsesinya adalah mendapatkan apa saja yang dia inginkan karena hal itu mendatangkan kesenangan dan keasyikan, meskipun cara yang dipakai adalah dengan melakukan berbagai tindakan yang merugikan orang lain (Bisnisku menjagal jagal apa saja). Pengulangan kata asyik menekankan bahwa keasyikan dan kesenangan untuk meraih apapun yang dia inginkan sudah begitu menguasai Bento sehingga ia menjadi tidak lagi manusiawi.
Dehumanisasi juga muncul di dalam lirik lagu Bongkar. Di sini penguasa diperkuda oleh jabatan yang berarti bahwa penguasa dikuasai oleh obsesi mereka akan jabatan. Obsesi pada jabatan ini membuat mereka kehilangan hati nurani (cinta) yang mengakibatkan mereka tidak dapat memerintah dengan adil dan bahkan menjadi kebal dengan kesedihan orang lain (kesedihan hanya tontonan)
Kalau cinta sudah di buang
Jangan harap keadilan akan datang
Kesedihan hanya tontonan
Bagi mereka yang diperkuda jabatan
Penguasa di dalam lagu ini ditampilkan serupa dengan Bento yang tidak pernah memikirkan penderitaan yang ditimbulkannya akibat ulahnya menjagal bisnis orang lain. Keduanya sama-sama mementingkan diri sendiri dan tidak memiliki hati nurani dan rasa keadilan. Jika melihat bahwa lirik lagu ini mengetengahkan bahwa dehumanisasi terjadi pada kedua kelas yang tampaknya saling berseberangan dan berlawanan, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya kedua kelas masyarakat ini memiliki sifat yang serupa. Kedua kelas tersebut dikuasai oleh obsesi mereka sehingga berfokus pada diri sendiri dan tidak peduli pada orang lain.
Di samping gagasan pertentangan kelas, gagasan lain yang muncul adalah kecemburuan sosial si miskin kepada si kaya (terutama dalam Oh ya). Meskipun demikian, kelas bawah hanya berani berandai-andai karena sadar akan adanya sekat-sekat yang memisahkan keduanya yang disebutnya sebagai takdir dan nasib. Kepasrahan pada nasib dan takdir memperlihatkan tidak adanya jalan ke luar dari kemiskinan.
Oh ya! Ya nasib
Nasibmu jelas bukan nasibku
Oh ya! Ya takdir
Takdirmu jelas bukan takdirku
Kritik sosial yang diangkat dalam keempat lirik lagu SWAMI I disampaikan melalui nada satiris dan ironis. Lirik lagu Potret dan Oh Ya mengritik kesenjangan sosial antara dua kelompok masyarakat, yaitu antara si kaya dan si miskin. Dalam dua lirik tersebut, kritik disampaikan secara lunak. Kekayaan dan keberhasilan ternyata hanya milik segelintir orang sementara yang lainnya adalah orang-orang resah yang harus bersusah payah berjuang untuk hidup.
Lirik Oh Ya yang diawali dengan deskripsi kondisi sosial, ditutup dengan larik tanah lahirku aku cinta kau dan Bumi darahku aku cinta engkau. Penyajian tersebut menjadikan kritik sosial tidak tajam. Di satu sisi ada unsur kepasrahan, di sisi lain, ada motivasi untuk tetap mencintai negeri ini bagaimana pun keadaannya.
Berbeda dengan dua lirik lainnya, yaitu Bento dan Bongkar, kritik sosial yang muncul lebih tegas, meski tetap tidak subversif. Dalam kedua lirik lagu tersebut, kritik ditujukan pada kalangan atas yang memiliki kekuasaan yang cenderung menyalahgunakan kekayaan dan kekuasaannya untuk menindas dan memarjinalkan yang lain.
Di balik sosok Bento yang tampan, berkelas dan berkuasa, ia ternyata memiliki sifat seperti “preman” yang “mengancam”, dan “menjagal” tanpa hati nurani. Ironi penguasa sebagai “pengkhotbah moral” dan “guru” yang dipertentangkan dengan aksi “menipu”, dan “mencuri,” menimbulkan kesan sindiran yang tajam pada kelompok penguasa. Pengulangan kata asyik menguatkan kesan bahwa kalangan ini menikmati penindasan yang mereka lakukan terhadap rakyat kecil.
Lirik lagu Bongkar diawali dengan kritik yang cukup tajam karena adanya kesadaran dari kelas bawah untuk membongkar kekuasaan. Kesan sarkastis muncul pada kata-kata “setan yang berdiri mengangkang” ingin dirobohkan. Istilah tersebut ditujukan pada kekuasaan yang menindas. Kata “bongkar” dapat dimaknai sebagai sebuah kritik terhadap penguasa saat terjadi penggusuran-penggusuran yang semakin memarjinalkan kelompok miskin dan tidak berdaya.
Kata “bongkar” menjadi “teriakan” penguasa yang tidak peduli pada nasib rakyat kecil, atau dapat pula dimaknai kekuatan kelas bawah yang bisa memiliki “kekuatan” atau “kekuasaan” melakukan perlawanan dan melakukan cara-cara “preman” atau “tidak humanis”, seperti yang dilakukan oleh para penguasa. Akan tetapi di akhir lirik, pemilihan kata “orang tua” sebagai analogi penguasa menyiratkan bahwa yang dilawan adalah orang tua sendiri sehingga perlawanan tidak mungkin dilakukan secara frontal.
Vokalisasi yang bisa saja berubah tempat, antara posisi penindas (Bento) dan yang ditindas (Potret, Oh ya, dan Bongkar), mengurangi ketajaman kritik sehingga menjadi sebuah lirik yang lebih terkesan menghibur daripada menyudutkan pihak tertentu. Mungkin hal tersebut merupakan alasan album SWAMI I dapat diterima masyarakat dan juga pemerintah yang berkuasa pada masa itu.
V. Kesimpulan
Representasi kelas sosial dan pertentangannya diungkapkan melalui peng-ontrasan. Kelas bawah direpresentasikan sebagai rakyat kecil, yang kondisi kehidupannya sangat kontras berbeda dengan kalangan yang menikmati kue pem-bangunan. Dua kelas ini merupakan pencerminan kondisi sosial di era Orde Baru, di mana pertumbuhan ekonomi cukup baik, tetapi terdapat kesenjangan sosial yang lebar, antara kelompok yang sukses dan kelompok masyarakat yang terpuruk atau tertinggal dalam pembangunan.
Kelas atas ditampilkan sebagai orang-orang yang menikmati kue pembangunan, punya banyak uang, punya harta dan rumah mewah, punya jabatan tinggi, berkuasa, bisa ber-buat semaunya, hidup enak dan nyaman. Mereka asyik dengan kenikmatan hidupnya sendiri, dan tidak perduli dengan hidup orang lain yang ditindas atau menjadi korban aksi manipulasinya.
Pertentangan kedua kelas tersebut diungkapkan dengan mengkontraskan kondisi sosial, harapan dan kenyataan antara kedua kelas tersebut. Kesenjangan sosial antara kedua kelas itu tak terjembatani karena tidak ada cara yang dapat ditempuh oleh kelompok masyarakat miskin untuk dapat meningkatkan status sosial mereka.
Keempat lirik lagu SWAMI I memperlihatkan adanya pertentangan kelas dengan nuansa yang berbeda-beda. Pertentangan kelas yang tercermin di dalam keempat lagu ini berbeda dari pengertian Marxis karena tidak bersifat revolusioner model Eropa. Walaupun terdapat nada ketidakpuasan dan keinginan untuk memberontak, kelas bawah dalam lirik lagu tetap menganggap penguasa sebagai orang tua dan tetap mencintai negara dan bangsanya.
Ajakan untuk membongkar tidak ditujukan secara langsung kepada penguasa, tetapi pada penindasan dan kesewenang-wenangan, ketidakpastian dan keserakahan. Tidak ada nama atau figur spesifik nyata yang disebut dalam keempat lirik lagu.
Jadi ajakan untuk membongkar adalah membongkar sistem nilai yang dirasakan tidak adil, bukan membongkar atau merobohkan kekuasaan. Meskipun muara sistem nilai itu pada akhirnya berada pada penguasa dan pemilik kapital besar. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh kehadiran Setiawan Djodi sebagai penyandang dana dalam grup Swami. ***
DAFTAR PUSTAKA
Adian, Donny Gahral. 2006. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
Boangmanalau, Singkop Boas. 2008. Marx, Dostoievsky, Nietzsche: Menggugat Teodisi dan Merekonstruksi Antropodisi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Budianta, Melani. 2000. “Discourse of Cultural Identity in Indonesia During the 1997-1998 Monetary Crisis,” Inter-Asia Cultural Studies, vol. 1 no. 1, hlm. 110-127.
Christomy, T., dan Untung Yuwono (ed.). 2004. Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat UI.
Honderich, Ted. 1995. The Oxford Companion to Philosophy. Oxford/New York: Oxford University Press.
Kathryn Woodward. 1999. Identity and Difference. London: Sage Publication.
Storey, John. 2006. Cultural Theory and Popular Culture: an Introduction. Fourth Edition. Athens, Georgia: The University of Georgia Press.
Tabloid Bintang No 293/Th. VI, Minggu Kedua, Oktober 1996.
Winters, Jeffrey A. 1999. Dosa-dosa Politik Orde Baru, Jakarta: Penerbit Djambatan.
Hoed, Benny H. 2008. Semiotika dan Dinamika. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Nƶth, Wienfried. 1995. Handbook of Semiotics. Indiana: Indiana University Press. Hlm.311-313.
Sulistyo, Basuki. 2006. Metode Penelitian. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Daftar Lampiran:
Lampiran 1
Potret
(Iwan Fals / Sawung Jabo / Naniel) –SWAMI
Orang orang resahBerlomba kejar nafkah
Demi anak bini
Demi sesuap nasi
Kuno kuno memangMemang memang kuno
Namun kenyataanKita butuh soal itu
Uang dimana uang?Nasi dimana nasi?
Uang dimana uang?Nasi dimana nasi?
Seperti binatangBila lapar menerjang
Seperti keretaNafasnya terdengar
Lidahnya terjulurSyahwatnya siap lentur
Soal harga diriSudah tak berarti
Uang dimana uang?Nasi dimana nasi?
Uang dimana uang?Nasi dimana nasi?
Pergi kau!Jangan nasehati aku oh ya!
Pergi kau!Aku mau uangmu oh ya!
Pergi kau!Jangan menggurui aku oh ya!
Pergi kau!Aku mau nasimu oh!
Anak anak kecil tengadahkan tangan
Mainkan tamborin gapai masa depan
Tanah lahirku aku cinta kau
Bumi darahku aku cium engkau
Lampiran 2
Oh... Ya!
(Iwan Fals & Sawung Jabo) - SWAMI
Andaikata aku di mobil ituTentu tidak di bus ini
Seandainya aku rumah ituTentu tidak di gubuk ini
A a a andaikataSe se se seandainya
Oh ya!Kalau saja aku jadi direktur
Tentu tidak jadi penganggur
Umpamanya aku dapat lotere
Tentu saja aku tidak kere
Ka ka ka kalau saja
U u u umpamanyam Oh ya!Oh ya!
Ya nasibNasibmu jelas bukan nasibku Oh ya!
Ya takdirTakdirmu jelas bukan takdirku Oh ya!
Ya nasibNasibmu jelas bukan nasibku Oh ya!
Ya takdirTakdirmu jelas bukan takdirku
Aku bosanA a a andaikata
Se se se seandainyaKa ka ka kalau saja
U u u umpamanyaOh ya!Oh ya!
Ya nasib Nasibmu jelas bukan nasibkuOh ya!
Ya takdir Takdirmu jelas bukan takdirkuOh ya!
Ya nasib Nasibmu jelas bukan nasibkuOh ya!
Ya takdir Takdirmu jelas bukan takdirku
La la laLa la laLa la la la la la la la la la la la la
La la laLa la laLa la la la la la la la la la la la la
Lampiran 3:
Bento
(Iwan Fals / Naniel ) -SWAMI
Namaku Bento rumah real estate
Mobilku banyak harta berlimpah
Orang memanggilku bos eksekutive
Tokoh papan atas atas s’galanya.
Asyik . . . . . . . . .
Wajahku ganteng banyak simpanan
Sekali lirik oke sajalah
Bisnisku menjagal jagal apa saja
Yang penting aku menang aku senang
Persetan orang susah karena aku
Yang penting asyik.
Sekali lagi asyik . . . . . . . . .
Reff:
Khotbah soal moral omong keadilan sarapan pagiku
Aksi tipu-tipu lobbying dan upeti woh . . . jagonya . .
Maling kelas teri bandit kelas coro, itu kan tong sampah
Siapa yang mau berguru, datang padaku
Sebut tiga kali namaku: Bento . . . .Bento . . . . Bento . . . . .
Asyik . . . . . . . ! ! ! ! ! ! Asyik . . . . . .
Lampiran 4:
Bongkar
(Iwan Fals / Sawung Jabo) -SWAMI
Kalau cinta sudah di buang
Jangan harap keadilan akan datang
Kesedihan hanya tontonan
Bagi mereka yang diperkuda jabatan
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Sabar sabar sabar dan tunggu
Itu jawaban yang kami terima
Ternyata kita harus ke jalan
Robohkan setan yang berdiri mengangkang
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Penindasan serta kesewenang wenangan
Banyak lagi teramat banyak untuk disebutkan
Hoi hentikan hentikan jangan diteruskan
Kami muak dengan ketidakpastian dan keserakahan
Dijalanan kami sandarkan cita cita
Sebab dirumah tak ada lagi yang bisa dipercaya
Orang tua pandanglah kami sebagai manusia
Kami bertanya tolong kau jawab dengan cinta
Footnotes:
[1] Itulah tujuan yang diusulkan oleh Lewis pada tahun 1944 dan diselundupkan oleh Piagam PBB 1947. Diktum Lewis pada 1955, “Pertama-tama haruslah dicatat bahwa persoalan pokok kita adalah partum-buhan, bukannya distribusi.”
[2] Tokoh oposisi yang bergabung dalam Petisi 50 seperti mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin di-
persulit hidupnya dan dilarang ke luar negeri.
[3] Musisi dangdut Oma Irama dilarang tampil di TVRI karena Oma adalah penduduk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), bukan partai pemerintah. Tokoh oposisi yang jujur, bersih dan mantan Kapolri, Hoegeng juga dilarang muncul di TVRI karena sikapnya yang kritis. Padahal di TVRI, Hoegeng hanya tampil menyanyikan lagu-lagu Hawai.
[4] Winters, Jeffrey A. 1999. Dosa-dosa Politik Orde Baru, Jakarta: Penerbit Djambatan. Hlm. 5.
[5] Ibid, hlm. 9.
[6] Kesuksesan Swami tersebut tidak terlepas dari figur Iwan Fals dan lagu yang dibawakan yaitu Bento dan Bongkar. Lagu Bento menjadi menjadi identik dengan Iwan Fals. Dimana ada Iwan di situ ada Bento. Penjualan kaus, poster dan segala pernak-pernik bertuliskan Iwan, Swami, Bento laku keras di kaki-kaki lima. Bagi Iwan Fals sendiri, ini bisa dikatakan sebagai puncak kejayaan karir bermusiknya.
[7] Nama lengkapnya Naniel K Yakin, mantan wartawan tabloid Mutiara.
[8] Minor Label adalah perusahaan rekaman dengan angka penjualan, wilayah distribusi, dan akses promosi yang terbatas. Hal ini berlawanan dengan mayor label.
[9] “Catatan Kehidupan Iwan Fals,” dalam Tabloid Bintang No 293/Th VI. Minggu Kedua Oktober 1996.
[10] Ibid.
[11] Konon kabarnya, Bung Karno mendapat ide bagi penerapan teori Marx ke dalam konteks Indonesia ini karena bertemu seorang petani kecil di suatu daerah di Jawa Barat. Dari dialog dengan petani kecil bernama Marhaen ini, Bung Karno merumuskan ideologi yang dinamainya Marhaenisme.
[12] Sejumlah partai politik era reformasi juga menyebut Marhaenisme dan ajaran-ajaran Bung Karno lainnya sebagai landasan ideologinya, terlepas dari sekadar basa-basi atau betul-betul nyata.
CATATAN:
Ini sebenarnya adalah Paper tugas Kelompok IV (dengan anggota Agnes Setyowati H., Dhita Hapsarani, Irzanti S., Muhammad Mulyadi, R. Suryanto, dan Satrio Arismunandar), untuk Mata Kuliah Teori dan Metodologi Ilmu Pengetahuan Budaya, di Program S3 FIB-UI. ***
Posted by Satrio Arismunandar at 5:56 AM
Kesenian, khususnya seni musik, merupakan bagian dari kebudayaan. Melalui musik, manusia mengekspresikan perasaan, harapan, aspirasi, dan cita-cita, yang me-representasikan pandangan hidup dan semangat zamannya. Oleh karena itu, melalui kesenian, kita juga bisa menangkap ide-ide dan semangat yang mewarnai pergulatan zaman bersangkutan.
Indonesia sendiri adalah suatu negeri yang kaya dengan berbagai karya seni, khususnya seni musik, yang mewakili pandangan hidup dan semangat zamannya. Salah satu era yang penting dalam perjalanan bangsa ini adalah era Orde Baru yang dimulai dengan naiknya Jenderal Soeharto ke tampuk pimpinan pemerintahan pada penghujung 1960-an sampai berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto pada penghu-jung 1990-an.
Salah satu grup musik yang sempat mewarnai era Orde Baru adalah Swami, dengan ikonnya Iwan Fals. Mereka telah menelurkan sejumlah album dan salah satu yang menonjol adalah album Swami I. Lirik-lirik lagu dalam album Swami I ini me-wakili pandangan hidup mereka, sekaligus mengekspresikan semangat zamannya. Untuk memahami lirik-lirik lagu yang ditampilkan dalam album Swami I, kita perlu meninjau konteks kondisi sosial, ekonomi, dan politik Indonesia pada era tersebut.
1.1 Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Politik Indonesia 1989
Penghujung 1980-an adalah saat rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto mencapai puncak kekuatannya. Pemerintah Soeharto menjadikan ekonomi sebagai panglima dan seluruh elemen masyarakat dimobilisasi di bawah panji “pembangunan” (development).
Konsep utama pembangunan seharusnya adalah perbaikan mutu kehidupan rakyat. Dalam pembangunan, seharusnya tercakup unsur perubahan yang berdimensi sosial kultural dan ekonomi, serta bersifat kualitatif dan kuantitatif. Namun, seperti di banyak negara berkembang lain, pembangunan di Indonesia telah direduksi makna-nya menjadi “pertumbuhan ekonomi” (economic growth) semata sehingga pembangunan secara sederhana berarti pertumbuhan pendapatan setiap orang di daerah yang secara ekonomis terbelakang.[1]
Harus diakui, pembangunan ekonomi yang substansial memang pernah berja-lan di Indonesia. Pada tahun 1966, pendapatan per kapita tahunan di Indonesia sekitar US$ 75. Ekonomi ini terus tumbuh lewat utang luar negeri dan sumbangan sektor migas. Pertumbuhan ekonomi riil selama tahun 1980-an dan 1990-an hampir selalu berkisar antara 6 sampai 7 persen per tahun. Inflasi tahunan rata-rata masih dapat ditekan di bawah level 10 persen.
Perbaikan yang berarti juga dicapai dalam pemberantasan tuna aksara di ka-langan orang dewasa, peningkatan usia harapan hidup, menurunnya angka kematian bayi, dan pembatasan tingkat pertumbuhan penduduk lewat program KB.
Berbagai hasil ini mendorong Bank Dunia untuk menjadikan Indonesia seba-gai contoh “model sukses” pembangunan. Indonesia diajukan sebagai tolok ukur ki-nerja negara-negara berkembang lain, dalam Laporan Pembangunan Dunia (World Development Report) 1990, yang disusun oleh Bank Dunia.
Namun, ada harga yang harus dibayar untuk “kesuksesan ekonomi” itu. Untuk mengejar pertumbuhan ekonomi tersebut, pemerintah memerlukan kestabilan politik di dalam negeri. Selanjutnya, dengan dalih perlunya stabilitas politik ini, pemerintah bersikap represif dan memberlakukan sejumlah aturan otoriter.
Pers dan media massa dikontrol ketat. Media yang kritis dibreidel dan dilarang terbit. Jumlah partai politik dibatasi, dan mereka tidak boleh masuk ke desa-desa. Sementara pegawai negeri dan anggota keluarga ABRI dipaksa memilih Golkar, partainya penguasa. Lewat para pejabat, Golkar justru leluasa masuk ke desa-desa.
Tokoh-tokoh oposisi yang kritis dipenjarakan atau disingkirkan,[2] sedangkan, kebebasan berekspresi di bidang seni juga ditindas, khususnya kalangan seniman yang tidak sejalan dengan kepentingan rezim.[3] Jika diperlukan, pemerintah juga tidak se-gan-segan menggunakan cara-cara represif, demi “menjaga ketertiban masyarakat” dan “melancarkan jalannya roda pembangunan.”
Karena yang dinomorsatukan adalah pertumbuhan ekonomi, sementara distribusi ekonomi atau pemerataan kesejahteraan tidak menjadi prioritas, maka terjadilah kesenjangan antara kelompok elite atau mereka yang diuntungkan oleh “pembangunan,” dan rakyat banyak yang tertinggal atau ditinggalkan dalam proses “pembangunan.”
Ada sejumlah konglomerat, pengusaha, birokrat, dan pejabat yang -karena kedekatan dengan penguasa- menikmati kue pembangunan. Sebaliknya, banyak rak-yat kecil yang hidupnya tertekan. Teori bahwa kemakmuran di kalangan atas pada akhirnya akan mengalir ke bawah (trickle-down effect) dan dinikmati oleh kalangan bawah, ternyata tidak terbukti.
Yang kaya bisa semakin kaya, sedangkan yang miskin semakin miskin. Presiden Soeharto sendiri diduga memiliki kekayaan miliaran dollar pada tahun 1989. Jika digabung dengan harta istri dan anak-anaknya, ditambah lingkaran kroni sipil dan militernya, jumlah tersebut membengkak sampai puluhan miliar dollar.[4] Keakuratan angka ini mungkin bisa diperdebatkan, tetapi fakta bahwa Soeharto beserta keluarga dan kroni-kroninya telah menumpuk kekayaan dengan memanfaatkan kekuasaan, tampaknya disepakati oleh banyak pengamat.
Strategi politik dan ekonomi Soeharto – yang bermotivasi pengumpulan harta besar-besaran bagi segelintir manusia, sementara mengesampingkan kepentingan ma-yoritas penduduk – telah ditanamkan di Indonesia sejak akhir tahun 1960-an.[5] Sayangnya, sistem politik Indonesia yang otoriter menyulitkan berjalannya pengawasan yang efektif terhadap pihak-pihak yang ingin menggunakan kekayaan negara untuk keuntungan pribadi.
Kesenjangan semacam inilah yang dilihat para anggota Swami dalam inter-aksinya sebagai seniman dengan masyarakat sehari-hari. Gambaran suram dan mem-prihatinkan inilah yang memberi inspirasi pada karya-karya mereka, yang bercorak kritik sosial. Pihak yang kaya dan berkuasa asyik dengan ambisi dan kenikmatan hidupnya sendiri, sementara rakyat kecil yang seharusnya disejahterakan ternyata nasibnya malah diabaikan.
1.2. Alasan Pemilihan Album Swami I
Album Swami I dipilih karena album ini dianggap mewakili semangat zaman-nya. Salah satu ukuran keterwakilan itu adalah respons positif masyarakat terhadap album serta lagu-lagu di dalamnya, yang bisa dilihat dari angka penjualan. Album Swami ini meledak di pasaran.
Angka penjualan album ini sangat tinggi, hingga mencapai 800 ribu kopi dalam jangka waktu satu bulan. Padahal, angka penjualan tersebut dicapai tanpa pro-mosi besar-besaran. Swami I berhasil mencapai sukses di pasar industri musik Indo-nesia dengan lagu-lagu yang sarat dengan kritik sosial sekaligus menghibur.
1.3. Alasan Pemilihan Empat lagu
Hampir semua lagu di album Swami I ini menjadi hits, tetapi yang dikate-gorikan sebagai hits besar dari Swami adalah lagu Bento dan Bongkar.[6] Dua lagu lain yang dipilih untuk dianalisis di sini adalah Potret dan Oh…Ya!. Empat lagu ini dipilih karena popularitasnya, dan sekaligus juga karena lagu-lagu itu menunjukkan karakter yang kuat dalam konteks kritik sosial.
1.4. Permasalahan
Secara sepintas, lagu-lagu dalam album Swami I mengekspresikan kritik sosial. Namun, tim peneliti ingin menelaah secara lebih spesifik. Pertama, bagaimanakah penguasa atau kelas atas ditampilkan dalam lirik-lirik lagu Swami? Kedua, di sisi lain, bagaimanakah kelas bawah ditampilkan? Ketiga, bagaimanakah pertentangan kelas ditampilkan? Dan terakhir, kritik sosial macam apakah yang diangkat di dalam keempat lirik ini?
1.5. Tujuan
Makalah ini hendak menunjukkan kritik sosial yang ditampilkan dalam lirik dari keempat lagu Swami I dengan menganalisis representasi penguasa, kelas atas, kelas bawah, dan pertentangan di antara mereka.
1.6. Metodologi dan Metode Penelitian
Makalah ini menggunakan pendekatan kualitatif dan lintas disiplin yang meliputi bidang ilmu sejarah, filsafat, susastra, dan linguistik.
Metodologi yang diterapkan adalah metodologi kualitatif karena objek penelitian berupa lirik lagu, dan tujuan penelitian adalah memahami isi lirik lagu, dalam kaitannya dengan peristiwa sosial. Pemahaman dilakukan melalui interpretasi peneliti dengan pisau analisis teori konotasi dari Barthes.
Berhubungan dengan metodologi tersebut, berikut ini uraian metode yang dilaksanakan: Lirik lagu dari album Swami I diklasifikasi berdasarkan topik. Pada tahap selanjutnya, dipilih empat lirik lagu berdasarkan sebuah topik. Kemudian, kata-kata yang memperlihatkan fenomena yang sesuai dengan topik dipilah dan dikelom-pokkan. Akhirnya, data dianalisis untuk mencapai tujuan penelitian.
II. Grup Musik Swami
2.1. Lahirnya Swami
Swami adalah grup musik yang dibentuk oleh Setiawan Djodi, Iwan Fals, Sawung Jabo, Innisisri, Naniel,[7] dan Nanoe pada tahun 1989. Swami dijadikan nama grup, atas usul Sawung Jabo yang berasal dari plesetan 'Suami,' karena semua anggotanya berstatus suami.
Kesepakatan awal para anggota Swami adalah membentuk grup untuk jangka waktu tiga tahun. Oleh karena itu, Swami membubarkan diri pada 1991.
Tidak lama setelah dibentuk, Swami berhasil mengeluarkan album yang diberi judul Swami. Dalam album Swami I yang berformat kaset, terdapat sepuluh lagu yang masing-masing side memuat lima lagu. Dalam side A termuat lagu-lagu, dengan data musisi yang menciptakan lagu tersebut. Lengkapnya adalah sebagai berikut:
Side A
1. Bento (Iwan Fals / Naniel ) -SWAMI
2. Bongkar (Iwan Fals / Sawung Jabo) -SWAMI
3. Badut (Iwan Fals / Sawung Jabo / Naniel) -SWAMI
4. Esek.Esek..Udug.Udug.. (Iwan/ Jabo / Naniel) -SWAMI
5. Potret (Iwan Fals / Sawung Jabo / Naniel) -SWAMI
Sementara dalam side B, lagu-lagu yang dimuat dengan data musisi yang menciptakannya adalah sebagai berikut:
Side B
1. Bunga Trotoar (S Djody / Iwan / Jabo / Naniel) -SWAMI
2. Oh... Ya! (Iwan Fals / Sawung Jabo / Naniel) -SWAMI
3. Condet (Iwan Fals / Naniel) - -SWAMI
4. Perjalanan Waktu (Iwan Fals / S.Jabo / Naniel) –SWAMI
5. Cinta (Iwan Fals/ Sawung Jabo/Naniel)- SWAMI
Album Swami I ini diproduksi pada tahun 1990 oleh Airo Records Pro-ductions, suatu perusahaan rekaman yang dapat dikelompokkan sebagai minor label[8]. Pada sampul album ini nama Iwan Fals dicantumkan di atas nama Swami, atas usulan Setiawan Djodi, yang merasa tanpa nama Iwan Fals, album Swami tidak akan dilirik. Dengan demikian Iwan Fals dijadikan trade mark, bukan Sawung Jabo dengan grup Sirkus Barock-nya.
Saat itu Iwan Fals dinilai sebagai musisi yang berani mengkritik korupsi dalam pemerintah yang berkuasa (terutama pada masa rezim Orde Baru) dan yang lirik-liriknya menyentuh hati berbagai kalangan masyarakat (terutama rakyat kecil). Hal ini menjadi istimewa mengingat tidak banyak artis yang memiliki keberanian dan karakter merakyat seperti Iwan Fals.
Kebanyakan artis pop pada masa itu dipandang kurang peka pada masalah-masalah sosial sehingga ada yang mengatakan bahwa mu-sik Iwan Fals merupakan suara rakyat (voices of people).
Faktor utama yang menyebabkan popularitas lagu-lagu Iwan Fals dan kelom-pok musik Swami I adalah tema musik yang mengambil inspirasinya dari kehidupan sehari-hari sehingga meninggalkan kesan memasyarakat, serta kritik sosialnya yang dinilai berani.
Masuknya Setiawan Djodi ke dalam kelompok Swami merupakan suatu anomali. Pada satu sisi kelompok Swami adalah kelompok musik yang mengusung lagu-lagu protes sosial sebagai tema utamanya, pada sisi lain Setiawan Djodi adalah bagian dari kelas sosial yang diprotes. Setiawan Djodi dikenal sebagai seorang konglomerat kaya raya, yang punya hubungan dekat atau perkawanan dengan putra-putra Presiden Soeharto.
Popularitas memang tidak otomatis identik dengan kualitas karya. Namun, dalam melihat kualitas musik Swami I, harus dipahami bahwa seni (modern) tidak hanya identik dengan keindahan, melainkan meliputi kategori-kategori lainnya, seperti tragis dan ketidakharmonisan (sebagai kebalikan dari keselarasan), serta pemberontakan.
Manusia memang tidak selalu menjadi homo estheticus, melainkan juga manusia sosial, yang berakar pada sejarah dan kondisi sosial-masyarakat tertentu sehingga tidak mengherankan, jika dalam menciptakan sebuah karya seni seorang se-niman akan mendapat pengaruh pula dari lingkungan dan zamannya.
2.2. Konteks Pembuatan Lagu
Menurut pengakuan Iwan Fals, sebagai bagian dari grup Swami, semua lagu yang dibuatnya jujur dan mempunyai peristiwa, meskipun ada unsur pendramtisa-sian. Unsur pendramatisasian paling tampak pada lagu-lagu pesanan.
Secara pasti Iwan Fals juga menyatakan bahwa tujuannya membuat lagu adalah untuk dijual dan laku. Namun, antara pilihan laku dan suara hati, Iwan menya-takan suara hati adalah pilihannya, meskipun unsur ingin laku selalu mempenga-ruhinya. Hanya saja pada saat membuat syair, tidak ada urusannya dengan itu.[9]
Lagu Bongkar, misalnya, pada awalnya bukan seperti yang sudah ada di al-bum rekaman Swami I. Gagasan lagu Bongkar berasal dari beberapa kasus penggu-suran yang terjadi pada saat Orde Baru, seperti kasus Kedung Ombo, Kaca Piring, dan Way Jepara. Kemudian Sawung Jabo mengusulkan perubahan lagu Bongkar dan disetujui oleh anggota Swami.
Perubahan dilakukan dengan tidak membahas kasus per kasus dalam setiap lagu. Iwan melihat usulan Sawung Jabo tersebut sebagai pemikiran yang tepat, karena lagu Bongkar lebih langsung mengenai sasaran. Lebih otentik dan jujur.[10]
III. Kerangka Teori
Representasi merupakan salah satu proses dalam sirkuit kebudayaan di sam-ping identitas, produksi, konsumsi, dan regulasi yang beroperasi berdasarkan sistem tanda. Tanda-tanda tersebut menghasilkan makna tertentu, yang pada akhirnya dapat memperlihatkan identitas individu atau kolektif, serta posisi yang diambil oleh pem-buat representasi.
Posisi yang berbeda akan menghasilkan representasi yang berbeda. Representasi budaya yang dihasilkan pemerintah Orde Baru pastilah berbeda dari representasi budaya yang dihasilkan oleh mereka yang berada pada posisi yang berseberangan dengan Orde Baru.
3.1 Teori Konotasi Roland Barthes
Dalam linguistik modern, makna unsur leksikal dibedakan atas makna yang objektif dan tetap, serta yang subjektif dan bervariasi. Meskipun berbeda, kedua makna tersebut ditentukan oleh konteks.
Makna yang pertama, makna denotatif, berkaitan dengan sosok acuan, mi-salnya kata merah bermakna ‘warna seperti warna darah’ (secara lebih objektif, makna dapat digambarkan menurut tata sinar). Konteks dalam hal ini untuk memecahkan masalah polisemi; sedangkan pada makna konotatif, konteks mendukung munculnya makna yang tidak objektif.
Barthes mengatakan bahwa sebuah tanda (dalam hal ini tanda bahasa) adalah sebuah sistem yang terdiri atas expression/Signifier (E) yang dihubungkan (Relation/R) dengan content (C). Dalam kaitannya dengan penanda (expression/ signifier) dan petanda/konsep (content/signified), Barthes menggambarkan hubungan kedua makna tersebut sebagai berikut:
Menurut Barthes, makna lain yang tidak objektif dan tidak tetap seperti itu adalah makna konotatif. Makna ini berkaitan dengan:
1. majas (metafora, metonimi, hiperbola, eufemisme, ironi, satira, dan sebagainya);
2. pengalaman pribadi atau masyarakat penuturnya, yang menimbulkan reaksi dan memberi makna konotasi emotif. Misalnya: halus, kasar/tidak sopan, peyoratif, akrab, kanak-kanak, menyenangkan, menakutkan, bahaya, tenang, dan sebagainya. Jenis ini tidak terbatas.
Pada contoh di atas: MERAH bermakna konotatif emotif. Konotasi ini bertujuan membongkar makna yang terselubung.
Lirik lagu Swami menarik dianalisis dengan teori Barthes, karena mengan-dung makna konotatif, baik yang berupa majas maupun yang berupa reaksi.
3.2 Teori Pertentangan Kelas Karl Marx
Marx menyatakan bahwa sejarah dari berbagai masyarakat hingga saat ini pa-da dasarnya adalah sejarah tentang pertentangan kelas, yakni antara kelas yang memi-liki alat-alat produksi (kaum kapitalis) dan kelas yang tidak memiliki alat-alat pro-duksi (kelas pekerja atau buruh).
Kaum kapitalis memeras tenaga buruh demi keuntungan modal dan membuat kelas pekerja ini hidup dalam kondisi yang sangat tidak manusiawi. Dengan demi-kian, kelas pekerja ini teralienasi dan tidak bisa mengembangkan potensi-potensi ke-manusiaannya.
Marx percaya bahwa kapitalisme yang ada pada akhirnya akan kalah dan di-gantikan dengan komunisme. Kapitalisme akan berakhir akibat aksi yang dikelola oleh kelas pekerja internasional. Kondisi ideal masyarakat tanpa kelas akhirnya akan tercapai, setelah beberapa periode dari sosialisme radikal yang menjadikan negara sebagai wujud kediktaktoran proletariat.
Di Indonesia, Soekarno mencoba menerjemahkan, mengadaptasi, dan mengaplikasikan teori Marx tersebut ke dalam konteks Indonesia, yang berbeda dengan konteks Rusia, tempat asal teori Marx. Di Indonesia, yang ada bukanlah kelas pekerja (buruh) yang sama sekali tidak memiliki alat-alat produksi seperti di Rusia, melainkan kalangan rakyat kecil yang memiliki alat produksi sendiri, tetapi dalam jumlah yang sangat kecil, misalnya, petani yang memiliki sepetak sawah kecil, tukang bakso yang memiliki satu gerobak bakso sendiri, pedagang asongan yang memiliki lapak kecil, tukang becak yang memiliki satu becak sendiri, dan sebagainya. Bung Karno menyebut mereka sebagai “kaum Marhaen,”[11] dan ideologinya disebut Marhaenisme.[12]
Teori pertentangan kelas dari Marx, dengan versi adaptasinya seperti yang digagas oleh Soekarno, digunakan dalam menganalisis teks di makalah ini. Pertimbangan penggunaannya adalah karena teori tersebut dianggap cocok dengan konteks situasi dan kondisi masyarakat Indonesia era Orde Baru (1989), khususnya pada saat kelompok musik Swami menghasilkan karya-karyanya.
IV. Analisis Lirik Lagu
Keberadaan Iwan Fals, yang dikenal dengan lagu-lagunya yang penuh dengan kritik sosial, sebagai anggota grup band SWAMI menjanjikan bahwa album SWAMI I diwarnai oleh lirik lagu yang bersifat mengritik penguasa. Memang jika dilihat dari permukaan, tampaknya keempat lirik lagu ini ditandai dengan kritikan terhadap penguasa dan penindasan yang mereka lakukan kepada masyarakat miskin. Keempat lirik lagu mengangkat dua kelas sosial yang saling berseberangan, yaitu kelas bawah yang tertindas dan kelas atas yang menindas.
Kelas bawah diwakili oleh tiga lirik lagu, yaitu Potret, Oh ya, dan Bongkar sementara kelas atas diwakili oleh lirik lagu Bento. Kelas bawah di dalam keempat lirik ini digambarkan sebagai kelompok orang yang tertindas oleh kemiskinan dan oleh kesewenangan dan keserakahan penguasa. Ketertindasan oleh kemiskinan diangkat dalam lirik lagu Potret dan Oh ya. Potret menyoroti miskinnya kehidupan masyarakat di kalangan ini sehingga yang menjadi tujuan hidup mereka hanya memenuhi kebutuhan primer, yaitu uang untuk membeli makanan. Hal ini secara gamblang dinyatakan di dalam bait pertama dan bait ketiga:
Orang orang resah
Berlomba kejar nafkah
Demi anak bini
Demi sesuap nasi
Uang dimana uang?
Nasi dimana nasi?
Uang dimana uang?
Nasi dimana nasi?
Orang-orang dari kelompok sosial ini ditampilkan sebagai orang-orang yang resah karena harus berlomba mengejar nafkah. Mencari uang untuk membeli makanan diumpamakan sebagai sebuah pertandingan. Siapa cepat dia yang dapat. Itu semua dilakukan hanya untuk mendapatkan uang dan nasi, yang berarti bahwa nafkah yang dikejar itu bukan uang dalam jumlah besar melainkan jumlah yang kecil.
Ukuran kecil di sini karena hanya cukup untuk membeli makanan. Pengulangan pertanyaan Uang dimana uang? Nasi dimana nasi? dalam bait ketiga memperlihatkan bahwa yang menjadi obsesi orang-orang ini adalah uang dan nasi.
Dalam lirik lagu Oh ya, kondisi miskin yang menguasai kelas bawah diperlihatkan secara tajam melalui kontras antara impian masyarakat kelas bawah dengan kenyataan yang dihadapinya. Di dalam lirik lagu ini, aku lirik yang berasal dari kelas bawah bermimpi untuk memiliki materi dan kedudukan yang umumnya menjadi penanda kelas atas.
Materi yang diimpikan adalah mobil yang dikontraskan dengan bus, dan rumah dengan gubuk. Meskipun mobil dan bus sama-sama merupakan alat transportasi, tetapi kualitasnya berbeda. Demikian juga rumah dan gubuk. Mobil dan rumah menawarkan kenyamanan sekaligus prestise yang tidak didapatkan dari bus dan gubuk.
Andaikata aku di mobil itu
Tentu tidak di bus ini
Seandainya aku rumah itu
Tentu tidak di gubuk ini
Impian lainnya berkaitan dengan kedudukan yang ditandai dengan kontras antara direktur dengan penganggur. Selain menyatakan jabatan yang tinggi di dalam susunan organisasi perusahaan, direktur juga mengindikasikan posisi yang tinggi di dalam pandangan masyarakat yang tidak didapatkan aku lirik sebagai penganggur. Kontras ini menunjukkan betapa jauhnya perbedaan antara impian dengan kenyataan yang dihidupi oleh aku lirik.
Kalau saja aku jadi direktur
Tentu tidak jadi penganggur
Umpamanya aku dapat lotere
Tentu saja aku tidak kere
Setelah berangan-angan untuk menjadi direktur, aku lirik berandai-andai mendapat lotere, yang kemudian dikontraskan dengan kenyataan bahwa ia hanya kere. Pemilihan kata kere ini menunjukkan bahwa aku lirik berada pada tingkat sosial yang paling rendah. Terdapat rasa pesimis di sini bahwa keadaan aku lirik sudah sedemikian terpuruk sehingga tidak ada lagi yang dapat dilakukan untuk mengubahnya. Yang dapat dilakukannya hanyalah berkhayal sebagaimana tampak dari pengulangan kata-kata pengandaian seperti andaikata, seandainya, kalau saja, umpamanya.
A a a andaikata
Se se se seandainya
Oh ya!Ka ka ka kalau saja
U u u umpamanya
Oh ya!Oh ya! Ya nasib
Nasibmu jelas bukan nasibku
Oh ya! Ya takdir
Takdirmu jelas bukan takdirku (2x)
Aku bosan
A a a andaikata
Se se se seandainya
Ka ka ka kalau saja
U u u umpamanya
Oh ya!
Karena terlalu sering bermimpi, pada akhirnya aku lirik menjadi bosan dan pasrah pada nasib, pada takdir. Dengan mengatakan bahwa semua perbedaan itu merupakan nasib dan takdir, maka aku lirik tidak melihat adanya jalan keluar dari kemiskinannya.
Di dalam lirik lagu Bongkar sudut pandang yang dipakai adalah sudut pandang kami (jamak), yang merupakan bagian dari kelas bawah. Lagu ini menunjukkan bagaimana kelas bawah memandang dirinya sendiri serta kelas atas, dalam hal ini penguasa. Kami menampilkan dirinya sebagai sebagai orang-orang yang marah karena merasa telah menjadi korban penindasan orang-orang yang berkuasa.
Kalau cinta sudah di buang
Jangan harap keadilan akan datang
Sabar sabar sabar dan tunggu
Itu jawaban yang kami terima
Mereka terbiasa diperlakukan dengan tidak adil yang tercermin dari tidak adanya harapan bahwa keadilan akan datang. Mereka juga terbiasa ditelantarkan dan tidak dilayani sebagaimana tampak dari jawaban yang mereka terima (sabar sabar sabar dan tunggu) dari orang-orang yang seharusnya memberikan layanan publik.
Hoi hentikan hentikan
jangan diteruskan
Kami muak dengan ketidakpastian dan keserakahan
Lirik ini dengan gamblang memperlihatkan kemuakan dan kemarahan mereka akan ketidakpastian dan keserakahan, yang mengacu pada penguasa yang tidak adil dan tidak kompeten dalam menjalankan tugas mereka.
Kelas penguasa di dalam lirik lagu Bongkar dapat dikategorikan ke dalam kelas atas karena mereka memiliki posisi yang tinggi dalam masyarakat. Mereka memiliki kekuasaan untuk mengatur dan mengelola masyarakat. Kelas atas, dalam hal ini penguasa, diperlihatkan telah kehilangan cinta yang dapat dibaca sebagai telah kehilangan hati nurani yang membuat mereka mampu bertindak sewenang-wenang.
Penindasan serta kesewenang wenangan
Banyak lagi teramat banyak untuk disebutkan…
Kesedihan hanya tontonan
Bagi mereka yang diperkuda jabatan
Pemakaian kata diperkuda jabatan mengacu pada penguasa yang telah dikuasai oleh jabatan mereka sehingga kehilangan hati nurani. Akibatnya, mereka melihat kesedihan orang lain hanya sebagai tontonan dan tidak tergerak untuk berbuat sesuatu untuk memperbaiki keadaan. Mereka ini adalah orang-orang yang terobsesi dengan kedudukan mereka sehingga kehilangan kemanusiaan mereka.
Penggambaran yang serupa juga ada di dalam lirik lagu Bento. Aku lirik di dalam lagu ini adalah Bento yang adalah seseorang pengusaha papan atas. Untuk mengukuhkan kedudukannya sebagai tokoh kelas atas, Bento memamerkan kekayaannya, status sosialnya dan kekuasaannya.
Namaku Bento
rumah real estate
Mobilku banyak harta berlimpah
Orang memanggilku boss eksekutif
Tokoh papan atas atas segalanya
Asyik
Tingkat kekayaan yang dipamerkannya ditandai dengan rumah, mobil, dan harta. Pemakaian kata real estate yang berasal dari bahasa Inggris menunjukkan bahwa rumah yang dimaksud bukan rumah biasa melainkan rumah yang memiliki nilai sosial tertentu. Mobil yang dimilikinya juga tidak hanya satu, tetapi banyak yang semakin diperkuat dengan harta yang berlimpah.
Untuk memperlihatkan kedudukannya, ia memosisikan dirinya sebagai boss eksekutif. Kata boss menunjukkan bahwa ia berada pada puncak pimpinan sehingga memiliki kekuasaan yang besar atas bawahannya. Eksekutif dapat memiliki dua arti karena dapat berarti top management dari suatu perusahaan, tapi dapat juga mengacu pada badan eksekutif pemerintahan. Tidak cukup dengan memperlihatkan posisi strukturalnya, Bento menegaskan bahwa ia merupakan tokoh papan atas atas segalanya yang dapat diartikan bahwa ia menganggap dirinya sebagai tokoh masyarakat di dalam segala bidang.
Deksripsi diri yang dilakukan Bento memperlihatkan nada sombong dan pongah. Ia tampak begitu menikmati kedudukan, kekayaan dan keberhasilannya. Ia bahkan melanjutkan deskripsi dirinya dengan menyombongkan wajahnya yang ganteng yang menjadikannya pujaan banyak wanita. Banyak simpanan yang mengacu pada wanita yang sekali dilirik mau dijadikan simpanannya merupakan suatu cara untuk menunjukkan bahwa kekuasaannya tidak berhenti pada materi dan kedudukan, tetapi juga manusia.
Wajahku ganteng
banyak simpanan
Sekali lirik oke sajalah
Bisnisku menjagal jagal apa saja
Yang penting aku senang
aku menang
Sikap yang sama juga ditunjukkan dengan deskripsinya tentang bagaimana ia menjalankan usahanya. Bento diperlihatkan menyombongkan dirinya dengan mengatakan bahwa bisnisnya menjagal apa saja yang ia inginkan. Secara implisit pernyataan ini menunjukkan bahwa kekuasaannya begitu besar sehingga ia dapat dengan mudah menjatuhkan orang lain yang diinginkannya.
Persetan orang susah karena aku
Yang penting asyik sekali lagi
Asyik
Pengulangan kata asyik semakin menekankan bahwa kesenangan dan kepuasannya adalah yang paling penting baginya. Ia tidak peduli pada akibat yang ditimbulkannya pada orang lain.
Khotbah soal moral omong keadilanSarapan pagikuAksi tipu tipu lobying dan upetiWoow jagonya
Maling kelas teri bandit kelas coro
Itu kantong sampah
Siapa yang mau berguru datang padaku
Sebut tiga kali namaku
Bento Bento Bento
Asyik
Bento juga memperlihatkan dirinya sebagai penipu ulung yang tidak memiliki rasa bersalah. Ia bahkan memproklamasikan dirinya sebagai penjahat paling top, jauh di atas maling dan bandit.
Secara keseluruhan, deskripsi Bento tentang dirinya sebenarnya merupakan suatu strategi untuk membongkar apa yang ada di balik kekayaan dan keberhasilan yang tampak dari luar tanpa harus menudingkan jari kepada orang lain karena Bento membuka kedoknya sendiri.
Kepongahan Bento di satu sisi merupakan satir terhadap kepongahan kelas atas dan di sisi lainnya menciptakan jarak antara pembaca dengan Bento karena sulit bagi pembaca untuk bersimpati pada tokoh seperti dia.
Jika representasi kelas bawah dan atas diperbandingkan, tampak ada perbedaan kelas antara yang kaya dan yang miskin, antara yang berkuasa dan yang tertindas. Dalam beberapa lirik lagu, perbedaan tersebut mengarah pada pertentangan kelas. Yang paling menonjol terlihat di dalam lirik lagu Bongkar. Di dalam lirik lagu ini jalan keluar yang dipilih kelas bawah untuk menyampaikan aspirasi mereka adalah dengan turun ke jalan atau melakukan demonstrasi.
Penguasa direpresentasikan sebagai setan yang berdiri mengangkang yang dapat diartikan sebagai kekuatan jahat yang menunjukkan kekuasaannya dengan menghalangi tercapainya tujuan demonstrasi. Pertentangan dipertajam dengan refrain lagu yang mengulang-ulang kata bongkar.
Ternyata kita harus ke jalan
Robohkan setan yang berdiri mengangkang
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Dalam Bongkar, kaum yang tertindas pada awalnya diperlihatkan memiliki keberanian menyuarakan keinginannya untuk mengubah keadaan. Akan tetapi, menjelang akhir lirik, pertentangan kelas yang dilakukan di jalan itu ditarik ke dalam rumah, yaitu pada kehidupan rumah yang tidak harmonis. Rumah dalam lirik ini merupakan analogi sebagai keadaan negara atau pemerintahan yang diacu di bagian awal lirik. Jika pemerintahan dianalogikan sebagai rumah Dalam rumah ada orang tua yang juga dapat dianalogikan sebagai pemimpin atau pemerintahan.
Karena pemerintah dianalogikan sebagai keluarga, seolah-olah menjadi sebuah kemustahilan untuk melakukan perlawanan. Melalui analogi semacam itu, pertentangan kelas pun tidak terlihat frontal. Seperti halnya dalam keluarga, harmoni tetap dijaga, meskipun terjadi perselisihan-perselisihan dalam keluarga. Kata cinta dan keinginan diperlakukan manusiawi yang muncul pada lirik puisi, mengurangi tegangan emosi yang terdapat pada larik-larik sebelumnya sehingga perlawanan menjadi lebih “halus”.
Ungkapan Kok Bisa? Bisa kok! yang mengakhiri lirik lagu ini dapat dimaknai sebagai sebuah keingintahuan akan sebuah jawaban. Pertanyaan Kok Bisa? meragukan kemungkinan melawan “orang tua” tetapi jawaban Bisa kok! memberikan nada optimis bahwa perlawanan mungkin untuk dilakukan.
Pertentangan kelas yang halus dan tidak frontal tersebut didukung oleh persamaan antara kedua kelas. Kedua kelas yang tampaknya berseberangan dan berbeda ini ternyata memaknai keberhasilan dan kesuksesan dari segi materi, yaitu rumah, mobil, harta, dan kedudukan. Hal ini terlihat jelas dalam lirik lagu Oh ya dan Bento.
Kelas bawah dalam Oh ya bermimpi naik mobil dan bukan bus, memiliki rumah dan bukan gubuk, menjadi direktur dan bukan penganggur, serta mendapat uang banyak dari lotere sehingga tidak lagi menjadi kere. Sementara Bento sesumbar bahwa rumahnya adalah rumah real estate, mobilnya banyak, hartanya berlimpah dan jabatannya boss eksekutif serta tokoh papan atas.
Kedua kelas juga sama-sama diperlihatkan diperbudak oleh obsesi dan ambisi mereka. Dalam Potret diperlihatkan bahwa orang-orang dari kelas bawah ini resah karena mereka harus mengejar nafkah hidup mereka. Mereka bahkan ditampilkan sangat terobsesi dengan pencarian nafkah hidup tersebut, sebagaimana terlihat dalam pemakaian pertanyaan Uang dimana uang? dan nasi dimana nasi? sebagai refrain lagu.
Uang dimana uang?
Nasi dimana nasi?
Uang dimana uang?
Nasi dimana nasi?
Obsesi itu begitu menguasai mereka sehingga mereka ditampilkan telah kehilangan kemanusiaan mereka. Mereka dibandingkan dengan hewan dan dengan kereta api.
Seperti binatang
Bila lapar menerjang
Seperti kereta
Nafasnya terdengar
Lidahnya terjulur
Syahwatnya siap lentur
Soal harga diri
Sudah tak berarti
Orang-orang yang terobsesi oleh urusan perut dan nafkah ini diperlihatkan seperti binatang yang dikuasai rasa lapar, dikuasa insting dan bukan lagi rasio. Mereka dibandingkan dengan kereta yang nafasnya memburu dan seperti binatang yang dikuasai nafsu: nafasnya memburu, lidahnya terjulur dan syahwatnya siap lentur. Lebih jauh lagi secara gamblang dinyatakan bahwa mereka tidak lagi peduli soal harga diri sebab yang ada dalam pikiran mereka semata-mata adalah mendapatkan uang dan nasi.
Obsesi kelas atas diperlihatkan dalam Bento. Bagi orang macam Bento, bukan uang dan nasi yang dicari karena ia sudah memiliki kemewahan dan kelimpahan dalam segala hal.
Namaku Bento rumah real estate
Mobilku banyak harta berlimpah
Rumahnya bukan di kampung, tetapi di real estate yang menunjukkan bahwa ia merupakan bagian dari kelas atas. Dengan mobil yang banyak dan harta berlimpah tentu saja kebutuhan Bento bukan lagi pada kebutuhan tahap primer, berbeda dari orang-orang resah yang dipotret dalam lirik lagu Potret.
Bento direpresentasikan sebagai orang yang dikuasai dan diperbudak oleh nafsunya.
Bisnisku menjagal jagal apa saja
Yang penting aku senang aku menang
Persetan orang susah karena aku
Yang penting asyik sekali lagi
Asyik
Obsesinya adalah mendapatkan apa saja yang dia inginkan karena hal itu mendatangkan kesenangan dan keasyikan, meskipun cara yang dipakai adalah dengan melakukan berbagai tindakan yang merugikan orang lain (Bisnisku menjagal jagal apa saja). Pengulangan kata asyik menekankan bahwa keasyikan dan kesenangan untuk meraih apapun yang dia inginkan sudah begitu menguasai Bento sehingga ia menjadi tidak lagi manusiawi.
Dehumanisasi juga muncul di dalam lirik lagu Bongkar. Di sini penguasa diperkuda oleh jabatan yang berarti bahwa penguasa dikuasai oleh obsesi mereka akan jabatan. Obsesi pada jabatan ini membuat mereka kehilangan hati nurani (cinta) yang mengakibatkan mereka tidak dapat memerintah dengan adil dan bahkan menjadi kebal dengan kesedihan orang lain (kesedihan hanya tontonan)
Kalau cinta sudah di buang
Jangan harap keadilan akan datang
Kesedihan hanya tontonan
Bagi mereka yang diperkuda jabatan
Penguasa di dalam lagu ini ditampilkan serupa dengan Bento yang tidak pernah memikirkan penderitaan yang ditimbulkannya akibat ulahnya menjagal bisnis orang lain. Keduanya sama-sama mementingkan diri sendiri dan tidak memiliki hati nurani dan rasa keadilan. Jika melihat bahwa lirik lagu ini mengetengahkan bahwa dehumanisasi terjadi pada kedua kelas yang tampaknya saling berseberangan dan berlawanan, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya kedua kelas masyarakat ini memiliki sifat yang serupa. Kedua kelas tersebut dikuasai oleh obsesi mereka sehingga berfokus pada diri sendiri dan tidak peduli pada orang lain.
Di samping gagasan pertentangan kelas, gagasan lain yang muncul adalah kecemburuan sosial si miskin kepada si kaya (terutama dalam Oh ya). Meskipun demikian, kelas bawah hanya berani berandai-andai karena sadar akan adanya sekat-sekat yang memisahkan keduanya yang disebutnya sebagai takdir dan nasib. Kepasrahan pada nasib dan takdir memperlihatkan tidak adanya jalan ke luar dari kemiskinan.
Oh ya! Ya nasib
Nasibmu jelas bukan nasibku
Oh ya! Ya takdir
Takdirmu jelas bukan takdirku
Kritik sosial yang diangkat dalam keempat lirik lagu SWAMI I disampaikan melalui nada satiris dan ironis. Lirik lagu Potret dan Oh Ya mengritik kesenjangan sosial antara dua kelompok masyarakat, yaitu antara si kaya dan si miskin. Dalam dua lirik tersebut, kritik disampaikan secara lunak. Kekayaan dan keberhasilan ternyata hanya milik segelintir orang sementara yang lainnya adalah orang-orang resah yang harus bersusah payah berjuang untuk hidup.
Lirik Oh Ya yang diawali dengan deskripsi kondisi sosial, ditutup dengan larik tanah lahirku aku cinta kau dan Bumi darahku aku cinta engkau. Penyajian tersebut menjadikan kritik sosial tidak tajam. Di satu sisi ada unsur kepasrahan, di sisi lain, ada motivasi untuk tetap mencintai negeri ini bagaimana pun keadaannya.
Berbeda dengan dua lirik lainnya, yaitu Bento dan Bongkar, kritik sosial yang muncul lebih tegas, meski tetap tidak subversif. Dalam kedua lirik lagu tersebut, kritik ditujukan pada kalangan atas yang memiliki kekuasaan yang cenderung menyalahgunakan kekayaan dan kekuasaannya untuk menindas dan memarjinalkan yang lain.
Di balik sosok Bento yang tampan, berkelas dan berkuasa, ia ternyata memiliki sifat seperti “preman” yang “mengancam”, dan “menjagal” tanpa hati nurani. Ironi penguasa sebagai “pengkhotbah moral” dan “guru” yang dipertentangkan dengan aksi “menipu”, dan “mencuri,” menimbulkan kesan sindiran yang tajam pada kelompok penguasa. Pengulangan kata asyik menguatkan kesan bahwa kalangan ini menikmati penindasan yang mereka lakukan terhadap rakyat kecil.
Lirik lagu Bongkar diawali dengan kritik yang cukup tajam karena adanya kesadaran dari kelas bawah untuk membongkar kekuasaan. Kesan sarkastis muncul pada kata-kata “setan yang berdiri mengangkang” ingin dirobohkan. Istilah tersebut ditujukan pada kekuasaan yang menindas. Kata “bongkar” dapat dimaknai sebagai sebuah kritik terhadap penguasa saat terjadi penggusuran-penggusuran yang semakin memarjinalkan kelompok miskin dan tidak berdaya.
Kata “bongkar” menjadi “teriakan” penguasa yang tidak peduli pada nasib rakyat kecil, atau dapat pula dimaknai kekuatan kelas bawah yang bisa memiliki “kekuatan” atau “kekuasaan” melakukan perlawanan dan melakukan cara-cara “preman” atau “tidak humanis”, seperti yang dilakukan oleh para penguasa. Akan tetapi di akhir lirik, pemilihan kata “orang tua” sebagai analogi penguasa menyiratkan bahwa yang dilawan adalah orang tua sendiri sehingga perlawanan tidak mungkin dilakukan secara frontal.
Vokalisasi yang bisa saja berubah tempat, antara posisi penindas (Bento) dan yang ditindas (Potret, Oh ya, dan Bongkar), mengurangi ketajaman kritik sehingga menjadi sebuah lirik yang lebih terkesan menghibur daripada menyudutkan pihak tertentu. Mungkin hal tersebut merupakan alasan album SWAMI I dapat diterima masyarakat dan juga pemerintah yang berkuasa pada masa itu.
V. Kesimpulan
Representasi kelas sosial dan pertentangannya diungkapkan melalui peng-ontrasan. Kelas bawah direpresentasikan sebagai rakyat kecil, yang kondisi kehidupannya sangat kontras berbeda dengan kalangan yang menikmati kue pem-bangunan. Dua kelas ini merupakan pencerminan kondisi sosial di era Orde Baru, di mana pertumbuhan ekonomi cukup baik, tetapi terdapat kesenjangan sosial yang lebar, antara kelompok yang sukses dan kelompok masyarakat yang terpuruk atau tertinggal dalam pembangunan.
Kelas atas ditampilkan sebagai orang-orang yang menikmati kue pembangunan, punya banyak uang, punya harta dan rumah mewah, punya jabatan tinggi, berkuasa, bisa ber-buat semaunya, hidup enak dan nyaman. Mereka asyik dengan kenikmatan hidupnya sendiri, dan tidak perduli dengan hidup orang lain yang ditindas atau menjadi korban aksi manipulasinya.
Pertentangan kedua kelas tersebut diungkapkan dengan mengkontraskan kondisi sosial, harapan dan kenyataan antara kedua kelas tersebut. Kesenjangan sosial antara kedua kelas itu tak terjembatani karena tidak ada cara yang dapat ditempuh oleh kelompok masyarakat miskin untuk dapat meningkatkan status sosial mereka.
Keempat lirik lagu SWAMI I memperlihatkan adanya pertentangan kelas dengan nuansa yang berbeda-beda. Pertentangan kelas yang tercermin di dalam keempat lagu ini berbeda dari pengertian Marxis karena tidak bersifat revolusioner model Eropa. Walaupun terdapat nada ketidakpuasan dan keinginan untuk memberontak, kelas bawah dalam lirik lagu tetap menganggap penguasa sebagai orang tua dan tetap mencintai negara dan bangsanya.
Ajakan untuk membongkar tidak ditujukan secara langsung kepada penguasa, tetapi pada penindasan dan kesewenang-wenangan, ketidakpastian dan keserakahan. Tidak ada nama atau figur spesifik nyata yang disebut dalam keempat lirik lagu.
Jadi ajakan untuk membongkar adalah membongkar sistem nilai yang dirasakan tidak adil, bukan membongkar atau merobohkan kekuasaan. Meskipun muara sistem nilai itu pada akhirnya berada pada penguasa dan pemilik kapital besar. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh kehadiran Setiawan Djodi sebagai penyandang dana dalam grup Swami. ***
DAFTAR PUSTAKA
Adian, Donny Gahral. 2006. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
Boangmanalau, Singkop Boas. 2008. Marx, Dostoievsky, Nietzsche: Menggugat Teodisi dan Merekonstruksi Antropodisi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Budianta, Melani. 2000. “Discourse of Cultural Identity in Indonesia During the 1997-1998 Monetary Crisis,” Inter-Asia Cultural Studies, vol. 1 no. 1, hlm. 110-127.
Christomy, T., dan Untung Yuwono (ed.). 2004. Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat UI.
Honderich, Ted. 1995. The Oxford Companion to Philosophy. Oxford/New York: Oxford University Press.
Kathryn Woodward. 1999. Identity and Difference. London: Sage Publication.
Storey, John. 2006. Cultural Theory and Popular Culture: an Introduction. Fourth Edition. Athens, Georgia: The University of Georgia Press.
Tabloid Bintang No 293/Th. VI, Minggu Kedua, Oktober 1996.
Winters, Jeffrey A. 1999. Dosa-dosa Politik Orde Baru, Jakarta: Penerbit Djambatan.
Hoed, Benny H. 2008. Semiotika dan Dinamika. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Nƶth, Wienfried. 1995. Handbook of Semiotics. Indiana: Indiana University Press. Hlm.311-313.
Sulistyo, Basuki. 2006. Metode Penelitian. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Daftar Lampiran:
Lampiran 1
Potret
(Iwan Fals / Sawung Jabo / Naniel) –SWAMI
Orang orang resahBerlomba kejar nafkah
Demi anak bini
Demi sesuap nasi
Kuno kuno memangMemang memang kuno
Namun kenyataanKita butuh soal itu
Uang dimana uang?Nasi dimana nasi?
Uang dimana uang?Nasi dimana nasi?
Seperti binatangBila lapar menerjang
Seperti keretaNafasnya terdengar
Lidahnya terjulurSyahwatnya siap lentur
Soal harga diriSudah tak berarti
Uang dimana uang?Nasi dimana nasi?
Uang dimana uang?Nasi dimana nasi?
Pergi kau!Jangan nasehati aku oh ya!
Pergi kau!Aku mau uangmu oh ya!
Pergi kau!Jangan menggurui aku oh ya!
Pergi kau!Aku mau nasimu oh!
Anak anak kecil tengadahkan tangan
Mainkan tamborin gapai masa depan
Tanah lahirku aku cinta kau
Bumi darahku aku cium engkau
Lampiran 2
Oh... Ya!
(Iwan Fals & Sawung Jabo) - SWAMI
Andaikata aku di mobil ituTentu tidak di bus ini
Seandainya aku rumah ituTentu tidak di gubuk ini
A a a andaikataSe se se seandainya
Oh ya!Kalau saja aku jadi direktur
Tentu tidak jadi penganggur
Umpamanya aku dapat lotere
Tentu saja aku tidak kere
Ka ka ka kalau saja
U u u umpamanyam Oh ya!Oh ya!
Ya nasibNasibmu jelas bukan nasibku Oh ya!
Ya takdirTakdirmu jelas bukan takdirku Oh ya!
Ya nasibNasibmu jelas bukan nasibku Oh ya!
Ya takdirTakdirmu jelas bukan takdirku
Aku bosanA a a andaikata
Se se se seandainyaKa ka ka kalau saja
U u u umpamanyaOh ya!Oh ya!
Ya nasib Nasibmu jelas bukan nasibkuOh ya!
Ya takdir Takdirmu jelas bukan takdirkuOh ya!
Ya nasib Nasibmu jelas bukan nasibkuOh ya!
Ya takdir Takdirmu jelas bukan takdirku
La la laLa la laLa la la la la la la la la la la la la
La la laLa la laLa la la la la la la la la la la la la
Lampiran 3:
Bento
(Iwan Fals / Naniel ) -SWAMI
Namaku Bento rumah real estate
Mobilku banyak harta berlimpah
Orang memanggilku bos eksekutive
Tokoh papan atas atas s’galanya.
Asyik . . . . . . . . .
Wajahku ganteng banyak simpanan
Sekali lirik oke sajalah
Bisnisku menjagal jagal apa saja
Yang penting aku menang aku senang
Persetan orang susah karena aku
Yang penting asyik.
Sekali lagi asyik . . . . . . . . .
Reff:
Khotbah soal moral omong keadilan sarapan pagiku
Aksi tipu-tipu lobbying dan upeti woh . . . jagonya . .
Maling kelas teri bandit kelas coro, itu kan tong sampah
Siapa yang mau berguru, datang padaku
Sebut tiga kali namaku: Bento . . . .Bento . . . . Bento . . . . .
Asyik . . . . . . . ! ! ! ! ! ! Asyik . . . . . .
Lampiran 4:
Bongkar
(Iwan Fals / Sawung Jabo) -SWAMI
Kalau cinta sudah di buang
Jangan harap keadilan akan datang
Kesedihan hanya tontonan
Bagi mereka yang diperkuda jabatan
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Sabar sabar sabar dan tunggu
Itu jawaban yang kami terima
Ternyata kita harus ke jalan
Robohkan setan yang berdiri mengangkang
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Penindasan serta kesewenang wenangan
Banyak lagi teramat banyak untuk disebutkan
Hoi hentikan hentikan jangan diteruskan
Kami muak dengan ketidakpastian dan keserakahan
Dijalanan kami sandarkan cita cita
Sebab dirumah tak ada lagi yang bisa dipercaya
Orang tua pandanglah kami sebagai manusia
Kami bertanya tolong kau jawab dengan cinta
Footnotes:
[1] Itulah tujuan yang diusulkan oleh Lewis pada tahun 1944 dan diselundupkan oleh Piagam PBB 1947. Diktum Lewis pada 1955, “Pertama-tama haruslah dicatat bahwa persoalan pokok kita adalah partum-buhan, bukannya distribusi.”
[2] Tokoh oposisi yang bergabung dalam Petisi 50 seperti mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin di-
persulit hidupnya dan dilarang ke luar negeri.
[3] Musisi dangdut Oma Irama dilarang tampil di TVRI karena Oma adalah penduduk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), bukan partai pemerintah. Tokoh oposisi yang jujur, bersih dan mantan Kapolri, Hoegeng juga dilarang muncul di TVRI karena sikapnya yang kritis. Padahal di TVRI, Hoegeng hanya tampil menyanyikan lagu-lagu Hawai.
[4] Winters, Jeffrey A. 1999. Dosa-dosa Politik Orde Baru, Jakarta: Penerbit Djambatan. Hlm. 5.
[5] Ibid, hlm. 9.
[6] Kesuksesan Swami tersebut tidak terlepas dari figur Iwan Fals dan lagu yang dibawakan yaitu Bento dan Bongkar. Lagu Bento menjadi menjadi identik dengan Iwan Fals. Dimana ada Iwan di situ ada Bento. Penjualan kaus, poster dan segala pernak-pernik bertuliskan Iwan, Swami, Bento laku keras di kaki-kaki lima. Bagi Iwan Fals sendiri, ini bisa dikatakan sebagai puncak kejayaan karir bermusiknya.
[7] Nama lengkapnya Naniel K Yakin, mantan wartawan tabloid Mutiara.
[8] Minor Label adalah perusahaan rekaman dengan angka penjualan, wilayah distribusi, dan akses promosi yang terbatas. Hal ini berlawanan dengan mayor label.
[9] “Catatan Kehidupan Iwan Fals,” dalam Tabloid Bintang No 293/Th VI. Minggu Kedua Oktober 1996.
[10] Ibid.
[11] Konon kabarnya, Bung Karno mendapat ide bagi penerapan teori Marx ke dalam konteks Indonesia ini karena bertemu seorang petani kecil di suatu daerah di Jawa Barat. Dari dialog dengan petani kecil bernama Marhaen ini, Bung Karno merumuskan ideologi yang dinamainya Marhaenisme.
[12] Sejumlah partai politik era reformasi juga menyebut Marhaenisme dan ajaran-ajaran Bung Karno lainnya sebagai landasan ideologinya, terlepas dari sekadar basa-basi atau betul-betul nyata.
CATATAN:
Ini sebenarnya adalah Paper tugas Kelompok IV (dengan anggota Agnes Setyowati H., Dhita Hapsarani, Irzanti S., Muhammad Mulyadi, R. Suryanto, dan Satrio Arismunandar), untuk Mata Kuliah Teori dan Metodologi Ilmu Pengetahuan Budaya, di Program S3 FIB-UI. ***
Posted by Satrio Arismunandar at 5:56 AM
proposal
A STUDY ON THE TECHNIQUES OF TEACHING VOCABULARY TO THE FIFTH STUDENTS OF SD MUHAMMADIYAH 1 BANCAR
IN THE 2007/2008 ACADEMIC YEAR
by:
NPM:
ENGLISH DEPARTMENT
FACULTY OF TECHER TRAINING AND EDUCATION
UNIROW TUBAN
2008
CHAPTER I
INTRODUCTION
In this chapter, the researcher presents introduction which consists of background of the study, statement of the problems, purposes of the study, significance of the study, limitation of the study, and definition of the key terms.
1.1 Background of the Study
A language is a meaningful way for communication (Soekemi, 1995:4). It means that a language is sound, which is produced, connected between the kinds of sounds the speakers of a language make and their culture. (A language is an instrument for communication).
English as foreign language is taught in Indonesia from elementary school until university level. They are some reasons why English has been taught in elementary school that is introduction English in early years is profitable for their basic in studying English furthermore. Another important reason is from psychological and linguistic point of view. The psychological conditions of the tenth years old and under children have good memory.
In addition, English subject can be taught in elementary school if it is needed by society and supported by a teacher who has ability to teach, so that at the end of elementary school the student has capacity of reading, writing, listening, and speaking in English. And to support for skill – language, it is needed language component that is vocabulary.
Vocabulary as one of the important aspect of English language will make the students easy to communicate to each other and master other aspects of language.
As we have known that in the English curriculum elementary students have to master vocabulary at least 500 words and to develop pupil’s vocabulary. The teacher must have teaching technique so that they can receive English easily, however the students must develop vocabulary themselves too. Actually that vocabulary is the foundation to learn English and vocabulary is one of the component of language, there is no language without vocabulary.
Vocabulary in English as a foreign language is taught at school for the purpose of providing the students the four language skills, they are listening, speaking, reading and writing. Some general statements say that techniques of teaching reading comprehension and other (Mujiono, 1993)
This study mainly concerns with the techniques of teaching English vocabulary at elementary school. Moreover, the role of the teacher’s competence of mastering the various techniques is very important to make the students to be able to do or achieve the aim of the instructional program on mastering vocabulary. Ur (1996) states “It is better to teach vocabulary in separated, spaced sessions than to teach it all at once”.
The writer may say that vocabulary is the important elements of language and it should be taught effectively and purposefully. To do it effectively, the teacher must have both theoretical and knowledge about subject matter. That theoretical are cognitive theory and creative construction theory. Ryan and Cooper (1984: 302) stated “To do this effectively the teacher must have theoretical, knowledge about learning and human behavior and knowledge about subject matter be taught”.
The writer believes that English is really important for the beginner and the interaction of teacher and learners are needed in teaching learning process.
In this skripsi, the writer tries to describe the Techniques of Teaching Vocabulary to the Fifth Year Students of SD MUHAMMADIYAH 1 BANCAR.
1.2 Statement of the Problems
The writer intents to investigate the following matters:
1. What kinds of techniques are used by the teacher in teaching English vocabulary?
2. How does teacher apply the techniques in classroom?
3. How are the students attitude towards the techniques applied by the teacher?
1.3 Purposes of the Study
Based on the statement of the problems above, the purposes of the study are:
1. To described kind of techniques used by the teacher in teaching English vocabulary.
2. To described the implementation of those techniques in classroom.
3. To described the response from the students about this techniques.
1.4 Significance of the Study
The finding of the study are expected to give valuable information to serve as a feedback which contributes to improve the techniques in teaching learning process and finding the best the techniques of teaching English vocabulary and improve the knowledge about vocabulary items. The head master and the English teacher of SD MUHAMMADIYAH 1 BANCAR would know how well the teaching and learning has fulfilled the need of the pupil and achieve the goal of learning and teaching English.
1.5 Hypothesis
Hypothesis is primary answer of research problem, and it must be tested to get its truth. And usually it is used in research because the research will be directed to the problem being researched.
Based ob the opinion above, the writer feels it is necessary to state some hypothesis. Concerning with the research problem, the writer formulates the hypothesis as follows:
If student mastery English vocabulary, they will be more active in teaching and learning process and can use or develop four English skills.
The students is more interested in learning vocabulary with this techniques.
If students mastery English vocabulary, they can be successful in their English study in Elementary School.
1.6 Limitation of the Study
This study that is carried out at SD MUHAMMADIYAH 1 BANCAR focuses on the aspect of English Language and also the techniques, because of limited times and energy, the writer limited the problem as follow:
1. The kind of techniques in teaching English vocabulary at SD MUHAMMADIYAH 1 BANCAR.
2. The implementation of those techniques on the fifth year students at SD MUHAMMADIYAH 1 BANCAR.
1.7 Definition of Key Terms
To avoid misunderstanding in the interpretation of words used in this research, the terms used are as follow:
1. Study : The activity of the learning or gaining knowledge from book (Hornby As, 1995: 187)
2. Techniques : The ways of presenting the material of vocabulary to the students that take places in the classroom (Prasasti Enik, 2004: 6)
3. Teaching : The activities done by the teacher in presenting English material (Horny As, 1974: 150)
4. Vocabulary : List of words with their meanings, especially at the back of a book used for teaching a foreign language. (Hornby As, 1992 : 46)
CHAPTER II
REVIEW OF RELATED LITERATURE
In this chapter, the researcher presents about definition of vocabulary, vocabulary as words and their meaning, kinds of vocabulary, the techniques of teaching vocabulary, and the theory of teaching and learning language for your learner.
Definition of the Vocabulary
The are many definitions of vocabulary that come from linguist actually one is not really different from the other. Gairns and Redman (1992:44) state “At a very basic level of survival in a foreign language, we can satisfy many of our needs with vocabulary and a bilingual dictionary”. “Other opinion from Hornby (1992: 46) state “Vocabulary means total number of word in a language used by a person”. In this case, Webster’s (1982: 53) as quoted by Widodo (1005: 10) gives better definitions is better. It defines vocabulary as “All the words of a language similarly”.
From definitions above, the writer employs vocabulary as her field of study because it is regarded as the key in learning language especially English. People can express their idea if they have enough vocabularies. On the other hand, if some one has very few vocabulary they will get difficulties in using English.
Vocabulary as Words and their Meaning
Finoechiaro (1989: 68) as quoted by Widodo (1005: 11) state “Words become meaningful only when studied and considered in context, that is with all the other surround them and helping to give them their meanings”.
In this items, the writer tries to describe about the words and their meaning focusing on five items:
2.2.1 Polysemy, Homonym
According to Gairns and Redman (1992:14):
Polysemy : we use this term to describe a single word from with several different but closely related meanings. In English, for example, we can talk about the “head” of a person, and the “head” of pin, on the “head” of an organization.
Homonym : when a single word has several different meanings, which are not closely related, we use the term homonym e.g. a file/fail/ may be used for keeping papers in, or may be tool for cutting or smoothing hard substances.
2.2.2 Synonym, Antonym, Hyponym
Synonym : items that mean the same, or nearly the same; for example; bright, smart; may serve as synonyms of intelligent (Ur, 1996:62). According to Yule (1987:95) states “Synonym is two or more terms, with very closely related meaning which are often, but not always, intersubstitutable in sentences”, as quoted by Widodo (1005:12)
Antonyms : items that mean the opposite, e.g. rich is and antonym of poor (Ur, 1996:62). “Antonym is a word of opposite meaning (Kustoyo, 1998:28) as quoted by Widodo (2005:13).
Hyponyms : items that serve as specific examples of a general concept; dog, lion, mouse are hyponyms of animal.
2.2.3 Multi-Word Verb
Gairn and Redman (1992:33) state that we are using this term to describe the large number of English vocabulary consisting of two, or sometimes three parts:
A “base” Verb-Preposition e.g. look into (investigate), get over (recover from)
A “base” Verb and Adverbial Particle (Phrasal Verb) e.g. break down (collapse), call of (cancel).
A “base” Verb-Adverbial Particle-Preposition e.g. put up with (tolerate).
As the writer example illustrate that there are Verb-Preposition combination that meaning is not clear from the individual parts; this probably explains why certain grammar book and course writers include semantically opaque preposition verbs in the treatment of phrasal verb. In our experience the distinction does not pose of significance the teaching problem, but if you to pursue the different the writer refer you to one of the grammar books listed in the bibliography. For the reader the writer will use the term “Phrasal Verb” when referring specially to verb-adverbial particle, and multi-word verb to include semantically opaque prepositional verbs as well.
In some cases phrasal verbs retain the meaning of their individual verb and particle e.g. sit down, while in others the meaning can not be deducted from an understanding of the constituent parts e.g. take in (deceive or cheat some body). It is this later category that creates most difficulty and contributes to the mystique which surrounds multi-word verb for many foreign learners. Also contributing to the mystique is the fact that many phrasal verbs have-multiple meaning e.g. pick up can mean lift, acquire, collect, etc. grammatically, students need to know whether a transitive multi word verb is phrasal or preposition. This is because phrasal verbs are separable.
e.g. take off your hat take it off
take your hat off (but not take off it)
while the prepositional verb are not:
e.g. look after the children
look after them.
(but not ‘look the children after or look them after’)
Finally, there is question of style, some command phrasal verb are informal and have one-word equivalents which are preferred in more formal contexts (e.g. put off/ postpone; get long means manage). Students will need to be aware of restrictions of these kinds.
2.2.4 Idiom, Collocation
An Idiom is a sequence of word which operates as single semantic unit and like many multi-words verb the meaning of the whole can not be deduced from an understanding of the parts e.g. never mind, hang on, under the weather, etc. (Gairns and Redman, 1992:35)
Collocation according to Ur (1996: 61) is “the typical of the particular items are another factor that makes a particular combination sound “right” or “wrong” in a given context.
2.2.5 Componential Analysis
According to Gairns and Redman (1992:40) componential analysis is a systematic means of examining sense relations. If the writer take items from the same semantic field (and which therefore have some features it common with each other) the writer can, by breaking them down into their constituent parts, examine the similarities and differences between them.
Example : Boy = + human + male + child
Girl = + human – female + child
Kinds of Vocabulary
There are two kinds of vocabulary:
Active vocabulary is vocabulary that often used by a person to express his idea and sense. Example: cry, laugh, and so on.
Passive vocabulary is vocabulary that often best present it quite quickly with a simple example. If it is appears as part of a text or dialog, we can often leave student to guess the word from the context Cristina (1998:43)
Gairns and Redman (1992) divided vocabulary into two kind’s namely respective vocabulary and productive vocabulary.
Respective vocabulary means language items, which can only recognized and comprehended in the context of reading and listening materials.
Productive Vocabulary means language items, which the learner can recall and use appropriately in speech and writing (these terms are often called passive and active vocabulary).
From that opinions shown that actually those vocabularies almost the same with active and passive vocabulary.
The Techniques of Teaching Vocabulary
Before discussing the technique of presenting materials for young learners. It is important to know that teaching English to the elementary school students is different from teaching English secondary or high school students. Kasbolah (1995 : 25) as quoted by Purwati (2003 : 13) points out that the goal of teaching English as the local content for the elementary school students should be stressed on building the positive point of view toward English. Furthermore, he said that the materials for the beginners should contain mostly some activities, such as singing, playing games, and reading poems. Brumfit (1991: 5 – 6) says that in teaching a second language words not enough, so we need a lot of object to work. Furthermore, he suggest to let the students play the language and make the variety the classroom.
The techniques of teaching vocabulary is a procedure or a collection way used in the classroom teaching vocabulary (Hubbard – Jones – Thornton: 31) (as quoted by Prasasti, 2004: 15). From the meaning techniques above the writer has assumption that techniques are very important and most needed in the teaching learning process.
In this study the writer can mention some techniques for teaching vocabulary, they are:
Say the word clearly and write it on the board.
Get the class to repeat the word in.
Translate the word into the students own language.
Ask student to translate the word.
Draw a picture to show what the word means.
Give example to show how the word is used.
Ask question using the new word.
In showing the meaning of words, there are three ways to showing the meaning of new words:
By showing the a real object
Anything that is ready in the classroom; furniture, clothes, part of the body. Also many object that can be brought into food (grapes, mango, orange) small object from home (soap, cups, keys, cupboard).
By showing a picture
This can be done in two ways:
By drawing a picture on the board
By showing a picture prepared before the lesson
From above, we can combine different techniques, they are:
Picture on the board (interesting, so the student remember it)
Facial expression (gives meaning clearly) e.g. (show how “smile” is used as a verb)
Translation (to make sure everyone understand)
Point out that each technique is very quick (a few seconds), and they all reinforce each other. For example:
Teacher : Look, they are smiling. Now look at me. I’m smiling (show by facial expression smile). We smile when we are happy. Smile (gesture)
Students : Smile
Teacher : Good. What does it mean? (student give translation)
By explanation
Explanation the meaning of vocabulary item can be very difficult, especially at beginner and elementary levels. But we can be used. It is worth remembering that explaining the meaning of word use, which are relevant. If the writer explaining the meaning of “mate” (friend) we have to points out that is a colloquial word used in informal contexts and that it is more often used for males than for females according to Jeremy Harmer (1996: 162) as quoted by Widodo (2005: 20).
The Theory of Teaching and Learning Language for Your Learner
The last few years have seen a growing tendency among children in Indonesia to learnt English. Although English has been taught to SD (Primary School) students in some private school, most of these children learn English from non-formal education. It is kind of education that make use of and benefits from this trend and situation. We, at International Language Programs, for example, started this program in June 1989 and it has been a successful and business.
It is since the new curriculum (1994) was introduced that school could teach English formally at primary level. This curriculum reflects the recognition of teaching English from an early age and hopefully stops the controversies on this matter.
This paper is intended as a basis for the further study of teaching English to children in particular those who sit at the primary level or early years of the SMP (Secondary School) and searches for better approaches towards this matter. It examines what teaching is like and how to do it.
Some facts about children and adults
The different between children and adult:
Children like playing and moving whereas adults seem reluctant to move and regard playing as childish.
Children can absorb new things easily whereas adults find it difficult to absorb new things.
Children feel at ease dealing with one thing at a time whereas adults are eager to know a lot of things at one time.
Children get bored easily whereas adults can spend a long time doing something especially if it is of their interest.
Children also differ in their knowledge background from adults. Adults have gained some k knowledge of it as they learn at school or from other sources.
Teaching activities
Children differ from adults in many ways. Consequently, teaching them requires different approaches. The above fact about children have to be accommodated according and activities in class should be in line with these facts. The following are points to consider when teaching children:
Teach One Thing at a time
Activities Should Vary
Lessons Should be Interesting
Lessons Recycle
Teaching/ Learning Stages
According to Harmer (1983) about learning stages in English lessons:
Introducing a new language
Practice
Communicative activities
Writing Activities
Unlike adults, children cannot automatically write what they hear or say. This is, again, because they are new to the language and not familiar with it. Their writing skills are also shaky as they are still learning to write. This skill, therefore, has to be built up gradually. Special attention has to be paid to spelling. Any (speaking) practice should not involve much writing. If it does (as it can be avoided) the teacher has to make sure that his students are familiar with the spelling. If not, it will inhibit the smoothness and fluency of the activity. For children, writing can be copying, completion, answering question, telegraph writing, writing dictation. The teacher should not be too strict about spelling mistakes.
Teaching Preposition
This preparation often takes longer than the teaching it self and involves a lot of thought. Preparation includes: lesson-planning; seeking, choosing, cutting, and sticking pictures; writing, developing, and typing material; photo –copying, and so on. This certainly requires time-devotion, skill, and experience on the part of the teacher(s). the availability of aids, books, and resources is also essential.
Application at School
One of the most important requirements is qualified teachers. At least two qualifications are needed from the teacher:
A qualification in English is essential as the teacher is the model for his students. He relates to them and they learn to speak from him.
A teaching qualification is includes a sound knowledge of how to teach children and the ability to implement it in class.
IN THE 2007/2008 ACADEMIC YEAR
by:
NPM:
ENGLISH DEPARTMENT
FACULTY OF TECHER TRAINING AND EDUCATION
UNIROW TUBAN
2008
CHAPTER I
INTRODUCTION
In this chapter, the researcher presents introduction which consists of background of the study, statement of the problems, purposes of the study, significance of the study, limitation of the study, and definition of the key terms.
1.1 Background of the Study
A language is a meaningful way for communication (Soekemi, 1995:4). It means that a language is sound, which is produced, connected between the kinds of sounds the speakers of a language make and their culture. (A language is an instrument for communication).
English as foreign language is taught in Indonesia from elementary school until university level. They are some reasons why English has been taught in elementary school that is introduction English in early years is profitable for their basic in studying English furthermore. Another important reason is from psychological and linguistic point of view. The psychological conditions of the tenth years old and under children have good memory.
In addition, English subject can be taught in elementary school if it is needed by society and supported by a teacher who has ability to teach, so that at the end of elementary school the student has capacity of reading, writing, listening, and speaking in English. And to support for skill – language, it is needed language component that is vocabulary.
Vocabulary as one of the important aspect of English language will make the students easy to communicate to each other and master other aspects of language.
As we have known that in the English curriculum elementary students have to master vocabulary at least 500 words and to develop pupil’s vocabulary. The teacher must have teaching technique so that they can receive English easily, however the students must develop vocabulary themselves too. Actually that vocabulary is the foundation to learn English and vocabulary is one of the component of language, there is no language without vocabulary.
Vocabulary in English as a foreign language is taught at school for the purpose of providing the students the four language skills, they are listening, speaking, reading and writing. Some general statements say that techniques of teaching reading comprehension and other (Mujiono, 1993)
This study mainly concerns with the techniques of teaching English vocabulary at elementary school. Moreover, the role of the teacher’s competence of mastering the various techniques is very important to make the students to be able to do or achieve the aim of the instructional program on mastering vocabulary. Ur (1996) states “It is better to teach vocabulary in separated, spaced sessions than to teach it all at once”.
The writer may say that vocabulary is the important elements of language and it should be taught effectively and purposefully. To do it effectively, the teacher must have both theoretical and knowledge about subject matter. That theoretical are cognitive theory and creative construction theory. Ryan and Cooper (1984: 302) stated “To do this effectively the teacher must have theoretical, knowledge about learning and human behavior and knowledge about subject matter be taught”.
The writer believes that English is really important for the beginner and the interaction of teacher and learners are needed in teaching learning process.
In this skripsi, the writer tries to describe the Techniques of Teaching Vocabulary to the Fifth Year Students of SD MUHAMMADIYAH 1 BANCAR.
1.2 Statement of the Problems
The writer intents to investigate the following matters:
1. What kinds of techniques are used by the teacher in teaching English vocabulary?
2. How does teacher apply the techniques in classroom?
3. How are the students attitude towards the techniques applied by the teacher?
1.3 Purposes of the Study
Based on the statement of the problems above, the purposes of the study are:
1. To described kind of techniques used by the teacher in teaching English vocabulary.
2. To described the implementation of those techniques in classroom.
3. To described the response from the students about this techniques.
1.4 Significance of the Study
The finding of the study are expected to give valuable information to serve as a feedback which contributes to improve the techniques in teaching learning process and finding the best the techniques of teaching English vocabulary and improve the knowledge about vocabulary items. The head master and the English teacher of SD MUHAMMADIYAH 1 BANCAR would know how well the teaching and learning has fulfilled the need of the pupil and achieve the goal of learning and teaching English.
1.5 Hypothesis
Hypothesis is primary answer of research problem, and it must be tested to get its truth. And usually it is used in research because the research will be directed to the problem being researched.
Based ob the opinion above, the writer feels it is necessary to state some hypothesis. Concerning with the research problem, the writer formulates the hypothesis as follows:
If student mastery English vocabulary, they will be more active in teaching and learning process and can use or develop four English skills.
The students is more interested in learning vocabulary with this techniques.
If students mastery English vocabulary, they can be successful in their English study in Elementary School.
1.6 Limitation of the Study
This study that is carried out at SD MUHAMMADIYAH 1 BANCAR focuses on the aspect of English Language and also the techniques, because of limited times and energy, the writer limited the problem as follow:
1. The kind of techniques in teaching English vocabulary at SD MUHAMMADIYAH 1 BANCAR.
2. The implementation of those techniques on the fifth year students at SD MUHAMMADIYAH 1 BANCAR.
1.7 Definition of Key Terms
To avoid misunderstanding in the interpretation of words used in this research, the terms used are as follow:
1. Study : The activity of the learning or gaining knowledge from book (Hornby As, 1995: 187)
2. Techniques : The ways of presenting the material of vocabulary to the students that take places in the classroom (Prasasti Enik, 2004: 6)
3. Teaching : The activities done by the teacher in presenting English material (Horny As, 1974: 150)
4. Vocabulary : List of words with their meanings, especially at the back of a book used for teaching a foreign language. (Hornby As, 1992 : 46)
CHAPTER II
REVIEW OF RELATED LITERATURE
In this chapter, the researcher presents about definition of vocabulary, vocabulary as words and their meaning, kinds of vocabulary, the techniques of teaching vocabulary, and the theory of teaching and learning language for your learner.
Definition of the Vocabulary
The are many definitions of vocabulary that come from linguist actually one is not really different from the other. Gairns and Redman (1992:44) state “At a very basic level of survival in a foreign language, we can satisfy many of our needs with vocabulary and a bilingual dictionary”. “Other opinion from Hornby (1992: 46) state “Vocabulary means total number of word in a language used by a person”. In this case, Webster’s (1982: 53) as quoted by Widodo (1005: 10) gives better definitions is better. It defines vocabulary as “All the words of a language similarly”.
From definitions above, the writer employs vocabulary as her field of study because it is regarded as the key in learning language especially English. People can express their idea if they have enough vocabularies. On the other hand, if some one has very few vocabulary they will get difficulties in using English.
Vocabulary as Words and their Meaning
Finoechiaro (1989: 68) as quoted by Widodo (1005: 11) state “Words become meaningful only when studied and considered in context, that is with all the other surround them and helping to give them their meanings”.
In this items, the writer tries to describe about the words and their meaning focusing on five items:
2.2.1 Polysemy, Homonym
According to Gairns and Redman (1992:14):
Polysemy : we use this term to describe a single word from with several different but closely related meanings. In English, for example, we can talk about the “head” of a person, and the “head” of pin, on the “head” of an organization.
Homonym : when a single word has several different meanings, which are not closely related, we use the term homonym e.g. a file/fail/ may be used for keeping papers in, or may be tool for cutting or smoothing hard substances.
2.2.2 Synonym, Antonym, Hyponym
Synonym : items that mean the same, or nearly the same; for example; bright, smart; may serve as synonyms of intelligent (Ur, 1996:62). According to Yule (1987:95) states “Synonym is two or more terms, with very closely related meaning which are often, but not always, intersubstitutable in sentences”, as quoted by Widodo (1005:12)
Antonyms : items that mean the opposite, e.g. rich is and antonym of poor (Ur, 1996:62). “Antonym is a word of opposite meaning (Kustoyo, 1998:28) as quoted by Widodo (2005:13).
Hyponyms : items that serve as specific examples of a general concept; dog, lion, mouse are hyponyms of animal.
2.2.3 Multi-Word Verb
Gairn and Redman (1992:33) state that we are using this term to describe the large number of English vocabulary consisting of two, or sometimes three parts:
A “base” Verb-Preposition e.g. look into (investigate), get over (recover from)
A “base” Verb and Adverbial Particle (Phrasal Verb) e.g. break down (collapse), call of (cancel).
A “base” Verb-Adverbial Particle-Preposition e.g. put up with (tolerate).
As the writer example illustrate that there are Verb-Preposition combination that meaning is not clear from the individual parts; this probably explains why certain grammar book and course writers include semantically opaque preposition verbs in the treatment of phrasal verb. In our experience the distinction does not pose of significance the teaching problem, but if you to pursue the different the writer refer you to one of the grammar books listed in the bibliography. For the reader the writer will use the term “Phrasal Verb” when referring specially to verb-adverbial particle, and multi-word verb to include semantically opaque prepositional verbs as well.
In some cases phrasal verbs retain the meaning of their individual verb and particle e.g. sit down, while in others the meaning can not be deducted from an understanding of the constituent parts e.g. take in (deceive or cheat some body). It is this later category that creates most difficulty and contributes to the mystique which surrounds multi-word verb for many foreign learners. Also contributing to the mystique is the fact that many phrasal verbs have-multiple meaning e.g. pick up can mean lift, acquire, collect, etc. grammatically, students need to know whether a transitive multi word verb is phrasal or preposition. This is because phrasal verbs are separable.
e.g. take off your hat take it off
take your hat off (but not take off it)
while the prepositional verb are not:
e.g. look after the children
look after them.
(but not ‘look the children after or look them after’)
Finally, there is question of style, some command phrasal verb are informal and have one-word equivalents which are preferred in more formal contexts (e.g. put off/ postpone; get long means manage). Students will need to be aware of restrictions of these kinds.
2.2.4 Idiom, Collocation
An Idiom is a sequence of word which operates as single semantic unit and like many multi-words verb the meaning of the whole can not be deduced from an understanding of the parts e.g. never mind, hang on, under the weather, etc. (Gairns and Redman, 1992:35)
Collocation according to Ur (1996: 61) is “the typical of the particular items are another factor that makes a particular combination sound “right” or “wrong” in a given context.
2.2.5 Componential Analysis
According to Gairns and Redman (1992:40) componential analysis is a systematic means of examining sense relations. If the writer take items from the same semantic field (and which therefore have some features it common with each other) the writer can, by breaking them down into their constituent parts, examine the similarities and differences between them.
Example : Boy = + human + male + child
Girl = + human – female + child
Kinds of Vocabulary
There are two kinds of vocabulary:
Active vocabulary is vocabulary that often used by a person to express his idea and sense. Example: cry, laugh, and so on.
Passive vocabulary is vocabulary that often best present it quite quickly with a simple example. If it is appears as part of a text or dialog, we can often leave student to guess the word from the context Cristina (1998:43)
Gairns and Redman (1992) divided vocabulary into two kind’s namely respective vocabulary and productive vocabulary.
Respective vocabulary means language items, which can only recognized and comprehended in the context of reading and listening materials.
Productive Vocabulary means language items, which the learner can recall and use appropriately in speech and writing (these terms are often called passive and active vocabulary).
From that opinions shown that actually those vocabularies almost the same with active and passive vocabulary.
The Techniques of Teaching Vocabulary
Before discussing the technique of presenting materials for young learners. It is important to know that teaching English to the elementary school students is different from teaching English secondary or high school students. Kasbolah (1995 : 25) as quoted by Purwati (2003 : 13) points out that the goal of teaching English as the local content for the elementary school students should be stressed on building the positive point of view toward English. Furthermore, he said that the materials for the beginners should contain mostly some activities, such as singing, playing games, and reading poems. Brumfit (1991: 5 – 6) says that in teaching a second language words not enough, so we need a lot of object to work. Furthermore, he suggest to let the students play the language and make the variety the classroom.
The techniques of teaching vocabulary is a procedure or a collection way used in the classroom teaching vocabulary (Hubbard – Jones – Thornton: 31) (as quoted by Prasasti, 2004: 15). From the meaning techniques above the writer has assumption that techniques are very important and most needed in the teaching learning process.
In this study the writer can mention some techniques for teaching vocabulary, they are:
Say the word clearly and write it on the board.
Get the class to repeat the word in.
Translate the word into the students own language.
Ask student to translate the word.
Draw a picture to show what the word means.
Give example to show how the word is used.
Ask question using the new word.
In showing the meaning of words, there are three ways to showing the meaning of new words:
By showing the a real object
Anything that is ready in the classroom; furniture, clothes, part of the body. Also many object that can be brought into food (grapes, mango, orange) small object from home (soap, cups, keys, cupboard).
By showing a picture
This can be done in two ways:
By drawing a picture on the board
By showing a picture prepared before the lesson
From above, we can combine different techniques, they are:
Picture on the board (interesting, so the student remember it)
Facial expression (gives meaning clearly) e.g. (show how “smile” is used as a verb)
Translation (to make sure everyone understand)
Point out that each technique is very quick (a few seconds), and they all reinforce each other. For example:
Teacher : Look, they are smiling. Now look at me. I’m smiling (show by facial expression smile). We smile when we are happy. Smile (gesture)
Students : Smile
Teacher : Good. What does it mean? (student give translation)
By explanation
Explanation the meaning of vocabulary item can be very difficult, especially at beginner and elementary levels. But we can be used. It is worth remembering that explaining the meaning of word use, which are relevant. If the writer explaining the meaning of “mate” (friend) we have to points out that is a colloquial word used in informal contexts and that it is more often used for males than for females according to Jeremy Harmer (1996: 162) as quoted by Widodo (2005: 20).
The Theory of Teaching and Learning Language for Your Learner
The last few years have seen a growing tendency among children in Indonesia to learnt English. Although English has been taught to SD (Primary School) students in some private school, most of these children learn English from non-formal education. It is kind of education that make use of and benefits from this trend and situation. We, at International Language Programs, for example, started this program in June 1989 and it has been a successful and business.
It is since the new curriculum (1994) was introduced that school could teach English formally at primary level. This curriculum reflects the recognition of teaching English from an early age and hopefully stops the controversies on this matter.
This paper is intended as a basis for the further study of teaching English to children in particular those who sit at the primary level or early years of the SMP (Secondary School) and searches for better approaches towards this matter. It examines what teaching is like and how to do it.
Some facts about children and adults
The different between children and adult:
Children like playing and moving whereas adults seem reluctant to move and regard playing as childish.
Children can absorb new things easily whereas adults find it difficult to absorb new things.
Children feel at ease dealing with one thing at a time whereas adults are eager to know a lot of things at one time.
Children get bored easily whereas adults can spend a long time doing something especially if it is of their interest.
Children also differ in their knowledge background from adults. Adults have gained some k knowledge of it as they learn at school or from other sources.
Teaching activities
Children differ from adults in many ways. Consequently, teaching them requires different approaches. The above fact about children have to be accommodated according and activities in class should be in line with these facts. The following are points to consider when teaching children:
Teach One Thing at a time
Activities Should Vary
Lessons Should be Interesting
Lessons Recycle
Teaching/ Learning Stages
According to Harmer (1983) about learning stages in English lessons:
Introducing a new language
Practice
Communicative activities
Writing Activities
Unlike adults, children cannot automatically write what they hear or say. This is, again, because they are new to the language and not familiar with it. Their writing skills are also shaky as they are still learning to write. This skill, therefore, has to be built up gradually. Special attention has to be paid to spelling. Any (speaking) practice should not involve much writing. If it does (as it can be avoided) the teacher has to make sure that his students are familiar with the spelling. If not, it will inhibit the smoothness and fluency of the activity. For children, writing can be copying, completion, answering question, telegraph writing, writing dictation. The teacher should not be too strict about spelling mistakes.
Teaching Preposition
This preparation often takes longer than the teaching it self and involves a lot of thought. Preparation includes: lesson-planning; seeking, choosing, cutting, and sticking pictures; writing, developing, and typing material; photo –copying, and so on. This certainly requires time-devotion, skill, and experience on the part of the teacher(s). the availability of aids, books, and resources is also essential.
Application at School
One of the most important requirements is qualified teachers. At least two qualifications are needed from the teacher:
A qualification in English is essential as the teacher is the model for his students. He relates to them and they learn to speak from him.
A teaching qualification is includes a sound knowledge of how to teach children and the ability to implement it in class.
short story
The Princess and the Pea
Once upon a time there was a prince who wanted to marry a princess; but she would have to be a real princess. He travelled all over the world to find one, but nowhere could he get what he wanted. There were princesses enough, but it was difficult to find out whether they were real ones. There was always something about them that was not as it should be. So he came home again and was sad, for he would have liked very much to have a real princess.
One evening a terrible storm came on; there was thunder and lightning, and the rain poured down in torrents. Suddenly a knocking was heard at the city gate, and the old king went to open it. It was a princess standing out there in front of the gate. But, good gracious! what a sight the rain and the wind had made her look. The water ran down from her hair and clothes; it ran down into the toes of her shoes and out again at the heels. And yet she said that she was a real princess.
Well, we'll soon find that out, thought the old queen. But she said nothing, went into the bed-room, took all the bedding off the bedstead, and laid a pea on the bottom; then she took twenty mattresses and laid them on the pea, and then twenty eider-down beds on top of the mattresses.
On this the princess had to lie all night. In the morning she was asked how she had slept.
"Oh, very badly!" said she. "I have scarcely closed my eyes all night. Heaven only knows what was in the bed, but I was lying on something hard, so that I am black and blue all over my body. It's horrible!"
Now they knew that she was a real princess because she had felt the pea right through the twenty mattresses and the twenty eider-down beds.
Nobody but a real princess could be as sensitive as that. So the prince took her for his wife, for now he knew that he had a real princess; and the pea was put in the museum, where it may still be seen, if no one has stolen it.
There, that is a true story.
Tittle The Princess and the Pea
Theme Honesty, Brilliant idea
=>"Oh, very badly!" said she. "I have scarcely closed my eyes all night. Heaven only knows what was in the bed, but I was lying on something hard, so that I am black and blue all over my body. It's horrible!"
Now they knew that she was a real princess because she had felt the pea right through the twenty mattresses and the twenty eider-down beds.
=> took all the bedding off the bedstead, and laid a pea on the bottom; then she took twenty mattresses and laid them on the pea, and then twenty eider-down beds on top of the mattresses
Point of view Third person
Once upon a time there was a prince who wanted to marry a princess; but she would have to be a real princess. He travelled all over the world to find one, but nowhere could he get what he wanted. There were princesses enough, but it was difficult to find out whether they were real ones. There was always something about them that was not as it should be. So he came home again and was sad, for he would have liked very much to have a real princess.
Plot Closed Plot
So the prince took her for his wife, for now he knew that he had a real princess; and the pea was put in the museum, where it may still be seen, if no one has stolen it.
Dramatic Conflict Social Conflict
Now they knew that she was a real princess because she had felt the pea right through the twenty mattresses and the twenty eider-down beds. Nobody but a real princess could be as sensitive as that.
Setting or Situation Castle and Bedroom
It was a princess standing out there in front of the gate AND went into the bed-room
Style The author use some imagery like as: It was a princess standing out there in front of the gate AND ALSO at one evening a terrible storm came on; there was thunder and lightning, and the rain poured down in torrents.
Character Prince
Stubborn (He travelled all over the world...to find the real princess)
Princess
Honest ("Oh, very badly!" said she. "I have scarcely closed my eyes all night. Heaven only knows what was in the bed, but I was lying on something hard, so that I am black and blue all over my body. It's horrible!")
old Queen
Smart (Well, we'll soon find that out, thought the old queen. But she said nothing, went into the bed-room, took all the bedding off the bedstead, and laid a pea on the bottom; then she took twenty mattresses and laid them on the pea, and then twenty eider-down beds on top of the mattresses)
Old King
Good-hearted (the old king went to open it)
Short story
The Princess and the Pea
BY
PITONO
1106070113
ENGLISH DEPARTMENT
FACULTY OF TEACHER TRAINING AND EDUCATION
UNIVERSITY OF PGRI RONGGOLAWE TUBAN
2010
Once upon a time there was a prince who wanted to marry a princess; but she would have to be a real princess. He travelled all over the world to find one, but nowhere could he get what he wanted. There were princesses enough, but it was difficult to find out whether they were real ones. There was always something about them that was not as it should be. So he came home again and was sad, for he would have liked very much to have a real princess.
One evening a terrible storm came on; there was thunder and lightning, and the rain poured down in torrents. Suddenly a knocking was heard at the city gate, and the old king went to open it. It was a princess standing out there in front of the gate. But, good gracious! what a sight the rain and the wind had made her look. The water ran down from her hair and clothes; it ran down into the toes of her shoes and out again at the heels. And yet she said that she was a real princess.
Well, we'll soon find that out, thought the old queen. But she said nothing, went into the bed-room, took all the bedding off the bedstead, and laid a pea on the bottom; then she took twenty mattresses and laid them on the pea, and then twenty eider-down beds on top of the mattresses.
On this the princess had to lie all night. In the morning she was asked how she had slept.
"Oh, very badly!" said she. "I have scarcely closed my eyes all night. Heaven only knows what was in the bed, but I was lying on something hard, so that I am black and blue all over my body. It's horrible!"
Now they knew that she was a real princess because she had felt the pea right through the twenty mattresses and the twenty eider-down beds.
Nobody but a real princess could be as sensitive as that. So the prince took her for his wife, for now he knew that he had a real princess; and the pea was put in the museum, where it may still be seen, if no one has stolen it.
There, that is a true story.
Tittle The Princess and the Pea
Theme Honesty, Brilliant idea
=>"Oh, very badly!" said she. "I have scarcely closed my eyes all night. Heaven only knows what was in the bed, but I was lying on something hard, so that I am black and blue all over my body. It's horrible!"
Now they knew that she was a real princess because she had felt the pea right through the twenty mattresses and the twenty eider-down beds.
=> took all the bedding off the bedstead, and laid a pea on the bottom; then she took twenty mattresses and laid them on the pea, and then twenty eider-down beds on top of the mattresses
Point of view Third person
Once upon a time there was a prince who wanted to marry a princess; but she would have to be a real princess. He travelled all over the world to find one, but nowhere could he get what he wanted. There were princesses enough, but it was difficult to find out whether they were real ones. There was always something about them that was not as it should be. So he came home again and was sad, for he would have liked very much to have a real princess.
Plot Closed Plot
So the prince took her for his wife, for now he knew that he had a real princess; and the pea was put in the museum, where it may still be seen, if no one has stolen it.
Dramatic Conflict Social Conflict
Now they knew that she was a real princess because she had felt the pea right through the twenty mattresses and the twenty eider-down beds. Nobody but a real princess could be as sensitive as that.
Setting or Situation Castle and Bedroom
It was a princess standing out there in front of the gate AND went into the bed-room
Style The author use some imagery like as: It was a princess standing out there in front of the gate AND ALSO at one evening a terrible storm came on; there was thunder and lightning, and the rain poured down in torrents.
Character Prince
Stubborn (He travelled all over the world...to find the real princess)
Princess
Honest ("Oh, very badly!" said she. "I have scarcely closed my eyes all night. Heaven only knows what was in the bed, but I was lying on something hard, so that I am black and blue all over my body. It's horrible!")
old Queen
Smart (Well, we'll soon find that out, thought the old queen. But she said nothing, went into the bed-room, took all the bedding off the bedstead, and laid a pea on the bottom; then she took twenty mattresses and laid them on the pea, and then twenty eider-down beds on top of the mattresses)
Old King
Good-hearted (the old king went to open it)
Short story
The Princess and the Pea
BY
PITONO
1106070113
ENGLISH DEPARTMENT
FACULTY OF TEACHER TRAINING AND EDUCATION
UNIVERSITY OF PGRI RONGGOLAWE TUBAN
2010
Rabu, 19 Januari 2011
PROPOSAL
proposal
TEACHING FAST AND CORRECT AT READING SIMPLE STORIES BOOKS
FOR SECOND GRADE STUDENTS AT JUNIOR HIGH SCHOOL
(LEARN FASTER THAN EVER)
BY : PITONO(2007/D)
FACULTY OF TEACHER TRAINING AND EDUCATION
ENGLISH EDUCATION DEPARTEMENT
UNIVERSITY OF PGRI RONGGOLAWE(UNIROW) TUBAN
CHAPTER I
INTRODUCTION
1.1 Background of the Study
If you read a few books in English, you will see that your English has become better. You will start using new vocabulary and grammar in your school compositions and e-mail messages. You will be surprised, but English phrases will just come to you when you are writing or speaking! Things like the past simple tense and how to use the word "since" will become part of you. You will use them automatically, without thinking. Correct phrases will just appear in your head.
It will be easy to use English, because your brain will only be repeating the things that it has seen many times. By reading a book in English, you have given your brain thousands of English sentences. They are part of you now. How can you make a mistake and say "I feeled bad", if you have seen the correct phrase ("I felt bad") 250 times in the last book you've read?
The writer think teaching reading simple stories using fast and correct technique is not an easy things to do especially when it applied at second grade junior high school. Teaching student to read fast is challenging but teaching them fast and correct on how to read simple stories is really painful. Teaching fast and correct is a combination in teaching student on how to read fast, clear and understandable using enhanced technique. The enhanced technique is an improved technique by using all available resources from internal and external factors including self motivation until electronic equipment. Reading fast is good but reading fast without understand the content and correct pronunciation is really bad. This is the reason why we need to use fast and correct technique. By using that technique, the student will not only able to read fast but also clear and understand the content. The good side is the student also have a good pronunciation.
1.2 Statement of the Problem
Well, Regarding to the background of the study above, I managed to get some kinds of questions that always bugged me :
1.2.1 How to read faster?
1.2.2 What are the problem that make them unable to read english very well?
1.2.3 What are the problem they face in reading simple stories?
1.2.4 Are there any difference between this method with another? What are they?
1.2.5 How to improve their skill?
1.2.6 How to solve the problems above?
1.2.7 What are the desired result?
1.2.8 Read faster or Read correctly?
1.2.9 How to read faster and correct?
1.2.10 How to gradually and continually improve reading skill?
1.3 Purpose of the study
1.3.1 To find the problem while the student reading a simple story book.
1.3.2 To find out the usefulness of reading skill for students.
1.3.3 To give the best explanation in the “what is the best technique to master english”.
1.3.4 To give the best idea on how to read faster.
1.4 Significant of the Study
1.4.1 To the Teacher
This study is intended to become a source of information for english teacher in choosing the certain techniques in teaching english, so they can teach effectifelly and find out the appropriate methods of teaching english. As the result,the students will be able to learn faster. As a note, the writer (my self ^_^) has tried many methods and this method seem a great method ATM in my environtment (I mean based on the equipment and condition). Feel free to try this method or develop it into the greater way.
1.4.2 To the Student
The students are sxpected to become competent readers which can comprehend the english very well. Having a good reading skill can help them to learn others english skills very fast. However, to achieve that goals, students need to develop their skill at any times.
It is expected this method will bring the light in the darkness for them as reading can save them from certain situation.
1.5 Limitation of the Study
This study is limited on teaching fast and correct at reading simple stories for second grade student at junior high school and not teaching speed reading.
1.6 Definition of key term
1.6.1 Read faster and correctly will make students learn english faster.
1.6.2 Read faster and reliable indicate the sudents understand most of the sentences (at least the story line)
1.6.3 Reading skill will improve other aspects such as writing skill, speaking skill, listening skill, grammar skill and many others.
1.6.4 Reading skill is ability in comprehending the text as efficient as possible.
1.6.5 Simple stories books is the reading book written in English.
1.6.6 Junior high school student is a student in the 7th - 9th years in Indonesia .
1.6.7 This activities take a sample on 4 student in which all of them at 8th grade.
1.6.8 Read faster and efficient/correct/reliable are the way the student read at 250 WPM and makes few mistakes.
CHAPTER II
REVIEW OF RELATED LITERATURE
2.1 A Brief Explanation of Reading Skill
It is important to understand what is the reading process its self. The reading process separated in to two activities; First is reading for meaning and the second is reading aloud.
2.2 In this technique, The arguments will fall into three categories: Intensity, Motivation and Authenticity.
Intensity
You need 1000s of phrases to speak English fluently. To be able to use thousands of phrases, you must read tens of thousands of phrases, because you will forget a lot of what you read.
If you just read when your teacher tells you to (e.g. 2 short articles per week in your English class), you are not going to make any progress. At such a rate, even if you learn something one week, you will forget it next week. You need to read, on average, at least a few pages per day. For this, you need to take charge of your learning — get some books and start reading on your own.
If you don't believe that reading on your own will dramatically change your English, consider this: In a week, a typical intermediate English learner who attends 4 hours of English classes learns maybe 5 new words or phrases from reading 2 pages in English plus another 5 from other sources (listening, conversation with teacher). Sure, they write down more than this, but after a week they remember less than 50% of the knowledge.
If you read 20 pages per week (which is only 3 per day), you will learn, mathematically, about 50 new words or phrases per week. If you read 40 pages per week (6 per day), you will learn 100 new words or phrases per week. So, read lots of simple stories and write down new words. We can make student reading simple stories and make it as a homework is also a good idea.
Motivation
You need to start reading on your own not just because it is effective, but also because it is so motivating. When you read on your own, you read something you chose yourself, something you really find interesting, rather than something your teacher told you to read. As a result, you read much more willingly and spend more time on it.
If you choose texts which are interesting and fun (Harry Potter, an article about computers, sports news, movie reviews, e-mail messages from friends, an Internet forum on relationships — whatever fits your bill), reading will not be something you have to do. It will be something you want to do. Once you try it, you will probably be thankful that you can understand English and read such great stuff!
Furthermore, when you read something that matters to you, you can remember much more. For example, if you read an article your teacher gave you, you want to read it quickly and be done with it. But if you read the lyrics of a new song by your favorite band, you're much more likely to repeat them to yourself and keep them in your memory — together with all the grammar and vocabulary.
A lot of people associate English with unpleasant things. For example, they think "I must learn English or else I won't find a job" or "I must learn English or I won't get a passing grade". In their minds, studying English is something they have to do, even though they would rather not do it — just like they would rather not have to go to school or work. So be sure to add reading simple stories to the habit list of the student. Starting by reading short simple stories will improve motivation to read more simple stories.
Authenticity
I believe it's important to learn from real American and British sources instead of resources prepared especially for English learners. If you see a phrase in a book or in a blog, you know it's really used in the English-speaking world.
By contrast, texts used in English classes often attempt to teach "proper" English, stripped of any informal expressions, such as crap, sucks or stuff. Authors of such texts probably disapprove of such phrases and believe that learners don't need them. But the fact is that most learners would choose relaxed, natural language — the language of regular educated Americans and Britons — over the stuffy standards of the proper-speaking "elite". Which is another reason why learners should go beyond English classes and start reading "real-life English" on their own. So learn from native speaker’s voices through electronic media will improve our reading skill.
2..3 Read English Story while improve English Skill
Reading for content
Normally, when reading a text, people use a strategy that I call "reading for content". The goal of this strategy is to get the main idea of the text as quickly as possible and with as little effort as possible. To accomplish this goal, your brain will try to read as few words as possible and spend only a fraction of a second on each word.
For example, when reading the following passage, you don't really see it like this:
Once when I was six years old I saw a magnificent picture in a book, called True Stories from Nature, about the primeval forest. It was a picture of a boa constrictor in the act of swallowing an animal. Here is a copy of the drawing. In the book it said: "Boa constrictors swallow their prey whole, without chewing it. After that they are not able to move, and they sleep through the six months that they need for digestion."
I pondered deeply, then, over the adventures of the jungle. And after some work with a colored pencil I succeeded in making my first drawing.
To your brain, it looks more or less like this:
Once when I was six years old I saw a magnificent picture in a book, called True Stories from Nature, about the primeval forest. It was a picture of a boa constrictor in the act of swallowing an animal. Here is a copy of the drawing. In the book it said: "Boa constrictors swallow their prey whole, without chewing it. After that they are not able to move, and they sleep through the six months that they need for digestion."
I pondered deeply, then, over the adventures of the jungle. And after some work with a colored pencil I succeeded in making my first drawing.
Here are some characteristics of "reading for content":
· Not seeing "grammar words" like a, the, in, of, through, that. The eye only stops at content words (main nouns, verbs, adjectives and adverbs).
· Not seeing word forms: Was it look or looked? Has looked or had looked?
· Not noticing the exact spelling. It is well known that the brain recognizes whole words — it does not analyze them letter by letter. Native speakers see the word piece all the time, but many of them still misspell it as peice, because the two spellings have similar shapes.
· Ignoring difficult words that are not essential to understanding the meaning (here: primeval, constrictor). Who has the time to use a dictionary?
An extreme example of "word blindness" is the rather well-known puzzle where you're asked to count how many times the letter F occurs in the following passage:
FINISHED FILES ARE THE RESULT OF YEARS OF SCIENTIFIC STUDY COMBINED WITH THE EXPERIENCE OF YEARS.
Click here for answer: Six times. The word of, being a grammar word, is not noticed by most people.
Reading for content is a great, time-saving way to extract information from printed sources. The problem is that you may not need the grammar words to understand a text, but you do need them to produce a text. So if you don't pay attention to things like articles and prepositions, you won't be able to use them correctly in your own sentences.
For example, here is a sentence from the opening paragraph of this article. Most learners (except those who are proficient in English grammar or extremely observant) will probably find it difficult to fill in the blanks:
To accomplish this goal, your brain will try to read as ___ words as possible and spend only a fraction of ___ second ___ each word.
The above explains why some learners can read a 300-page book and still have problems with relatively basic grammar. It also explains why articles and prepositions are among the hardest aspects of English to learn. The conclusion for the English learner is that if you want to improve your production (output) skills, you will have to train yourself to notice grammar words.
Here's an illuminating passage posted by Maya l'abeille at the Antimoon Forum:
I believe that seeing correct and typical English sentences helps a lot to learn how to use English properly. It is also important to read and read again every structure that is new to you, so that you can remember them. If you only read the book without taking any pause to think carefully about the "new" sentences, you will hardly remember any of them.
I've read all Harry Potter books straight myself, and when I opened them again, I realised I had viewed loads and loads of useful structures whithout remembering them - which was such a shame! I'm reading The Full Monty (Penguin Readers collection) using the "pause and think" method at present. Now after a few days of daily reading, when I take a look at an English text, many structures are familiar to me - "hey, I remember reading this one in The Full Monty!".
Therefore, I believe this method is efficient and I would advise it to all learners.
Sometimes, we don't realise how wealthy a single book can be - loads to learn just in one of them.
Pause and think
I agree with Maya l'abeille about the "pause and think" method. Here's the process that I recommend for dealing with sentences in texts:
- Stop at interesting (not obvious) things: a new word, how a word was used, a grammatical structure, a preposition, an article, a conjunction, the order of words, etc. For example, spend a while to think about the fact that the sentence contains the preposition at, and not on. Perhaps the sentence uses the present perfect tense where you would have expected the past simple. Perhaps the word order is different than in your first language.
- If the sentence contains a useful phrase, ask yourself: Could you produce a similar phrase yourself? Would you use the right tenses, articles and prepositions? Would you use the right word order? If you're not sure, practice saying a similar phrase aloud or in your mind. The idea is to move the phrase to your "active vocabulary".
- If necessary, or if you feel like it, use your dictionary to find definitions of words in the sentence and get more example sentences. This will help enrich your "feel" of the word.
If you don't like to stop reading (to look up a word in your dictionary or add a phrase to SuperMemo), you can write down all the interesting sentences, or you can underline them in the book with a pencil. This way, you can handle these sentences later.
Another important piece of advice is that you don't have to use the above strategy all the time. Reading in this mode can be quite exhausting, so don't do it when you're tired after a long reading session. Also, do not try to give equal attention to every sentence. Some sentences in books (e.g. long poetic descriptions) do not contain phrases or structures that are useful for building your own sentences. Some characters in books use weird slang expressions which aren't very useful either.
Finally, the "pause and think" technique will not always make you remember the exact way to say something. But perhaps you'll remember that this particular type of sentence is "weird" or "difficult" in English. If you remember that, it will at least make you stop before you write that sentence, and look it up instead of making a careless mistake.
An example
I'll now give you a short demonstration of the "pause and think" method. Here are two English sentences and the thoughts I got when reading them:
Former President Jimmy Carter will visit Venezuela next week to mediate talks between the government and its opposition, which have been locked in a power struggle since a failed coup.
· "Former President" — not "The former President", so I guess we say "President Carter" and not "The President Carter", even though we say "The President will do something" when we don't mention his name.
· "to mediate talks" — not "to mediate in the talks" or something like that. I wonder if that would be OK, too...
· "power struggle" — I think I've seen this phrase before.
· "since a failed coup" — so I can say "He's been paralyzed since an accident" (preposition use), not only "He's been paralyzed since an accident happened" (conjunction use).
· "since a failed coup" — not "since the failed coup". The author does not assume we know about the coup.
· "coup" — hey, I know this is pronounced [ku:]!
Jennifer McCoy, of the Atlanta-based Carter Center, told reporters Saturday that Carter may be able to help break the political deadlock when he visits beginning July 6.
· "Jennifer McCoy of the Carter Center" — not "Jennifer McCoy from the Carter Center" (in Polish I would say from). So we'd say "John Brown of IBM", for example.
· "Atlanta-based" — another way of saying "based in Atlanta". Guess I could say I'm a "Wroclaw-based webmaster".
· "told reporters Saturday" not "on Saturday" — seems we can skip the "on" sometimes. "I met her Friday" would probably work as well as "I met her on Friday".
· "told that Carter may be able" — not "told that Carter might be able" — lack of reported (indirect) speech. And my English teacher taught me to say things like "She said she might stay" (not "She said she may stay").
· "to help break the deadlock" — It looks like help can be used without an object (it does not say "to help Venezuelans break the deadlock"), and without to (it does not say "help to break the deadlock"). This is different from some other verbs like force (we cannot say "The President will force break the deadlock", we must say "The President will force Venezuelans to break the deadlock.").
· "when he visits" — not "when he will visit", even though it will be in the future. I don't think I have ever seen will used in such a sentence.
· "to visit beginning July 6" — interesting structure — I would say "to visit on July 6", but here beginning replaces on. This may be the first time that I've seen this phrase. It may be some sort of news jargon.
Reading everywhere
If you think you don't have time to read, try to carry a book with you everywhere you go. That way, you can read when you're waiting in line, waiting for a bus, or even when walking (but make sure you don't walk into other people or vehicles).
CHAPTER III
METHODOLOGY
3.1 Research Design
Based on background of the study, the author (myself) wants to find out the problem faced by students especially in reading faster and correctly. The writer got the data from the student of SLTP N I PLUMPANG.
3.2 Population and Sample
As mentioned, this research involves the students at second grade in Junior High School. the sample will consist of all student in a class. half of them are male and other are female. It is expected all of them have excellent mark in their school.
3.3 Instrument
I got information by using :
a. stopwatch
to analysis in how faster student read the story (in WPM)
b. Book research
to write down all of their score
c. their score
I can get their total mark with this.
d.recorder
by using this tool, I can manage to get on how good they are at understanding a simple story.
3.4 Analysis and Interpretation of Data
here are the formula I used to calculate the the data
1. Make them read simple story at their best shoot.
2. Turn on the STOPWATCH & Record the data in recorder.
3. Mark their score in this format
No. | Name | Speed (S=MWPM/6) | Pronunciation (P=MCPM/6) | SCORE (H=P+S) |
No. → fill with number
Name → fill with the Student’s Name
Time → their ‘Speed’ at reading books in WPM
Usually at 0-50, 51-100, 101 -200, 201-250, 251-500, 501-750,751-1000, and 1001-2000.
Score → their Score after finished the task.
Classified in: 0-20 = Very Bad (E)
21-40 = Bad (D)
41-60 = Enough (C)
61-80 = Good (B)
81-100 = Awesome (A)
T.Score → Total Score for each of them (for comparison only)
Here I write their total score after hear the recorder and write down their mark at SCORE in Storyline. The better they told the story, the greater their mark will be. Adding it with the SCORE will form the total Score.
The formula is H=P+S
Where P=MCPM/6 and S=MWPM/6
P = Pronunciation.
S = Speed of the Reading.
MCPM = Max Correct Words Per Minute.
MWPM = Max Words Per Minute.
References
Cho, K.S. and Krashen, S. 1994. Acquisition of vocabulary from the Sweet Valley Kids series. Journal of Reading 37: 6620667.
Cho, K.S. and Krashen, S. 1995. From Sweet Valley Kids to Harlequins in one year. California English 1,1: 18-19.
Dupuy, B. 1999. Narrow listening: An alternative way to develop listening comprehension in the foreign language classroom. System 24(1):97-100.
Krashen, S. 1996. The case for narrow listening. System 24(1): 97-100.
LaBrant, L. 1958. An evaluation of free reading. In C. Hunnicutt and W. Iverson (Eds.), Research in the Three R's. New York : Harper and Brothers, pp. 154-161.
Lamme, L. 1976. Are reading habits and abilities related? Reading Teacher 30: 21-27.
Rodrigo, V. and Krashen, S. 1996. La aplicaciĆ³n del argumento de la audiciĆ³n enfocada en el Aula de Clase. Granada English Teaching Assocation, 4:2): 71-75.
Yang, A. 2001. reading and the non-academic learner: A mystery solved. System 29(4):451-466.
http://mindbluff.com/askread.htm http://mindbluff.com/askread.htm
Langganan:
Postingan (Atom)